[slideguest id=3458764513857470826&w=350&h=262]

TEORI PERDAGANGAN INTERNASIONAL

TEORI PERDAGANGAN INTERNASIONAL

I. TEORI KLASIK

  • Absolute Advantage dari Adam Smith

Teori Absolute Advantage lebih mendasarkan pada besaran/variabel riil bukan moneter sehingga sering dikenal dengan nama teori murni (pure theory) perdagangan internasional. Murni dalam arti bahwa teori ini memusatkan perhatiannya pada variabel riil seperti misalnya nilai suatu barang diukur dengan banyaknya tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan barang. Makin banyak tenaga kerja yang digunakan akan makin tinggi nilai barang tersebut (Labor Theory of value )

Teori absolute advantage Adam Smith yang sederhana menggunakan teori nilai tenaga kerja, Teori nilai kerja ini bersifat sangat sederhana sebab menggunakan anggapan bahwa tenaga kerja itu sifatnya homogeny  serta merupakan satu-satunya factor produksi. Dalam kenyataannya tenaga kerja itu tidak homogen, factor produksi tidak hanya satu dan mobilitas tenaga kerja tidak bebas. dapat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut: Misalnya hanya ada 2 negara, Amerika dan Inggris memiliki faktor produksi tenaga kerja yang homogen menghasilkan dua barang yakni gandum dan pakaian. Untuk menghasilkan 1 unit gandum dan pakaian Amerika membutuhkan 8 unit tenaga kerja dan 4 unit tenaga kerja. Di Inggris setiap unit gandum dan pakaian masing-masing membutuhkan tenaga kerja sebanyak 10 unit dan 2 unit.

Banyaknya Tenaga Kerja yang Diperlukan untuk Menghasilkan per Unit

Produksi Amerika Inggris
Gandum 8 10
Pakaian 4 2

Dari tabel diatas nampak bahwa Amerika lebih efisien dalam memproduksi gandum sedang Inggris dalam produksi pakaian. 1 unit gandum diperlukan 10 unit tenaga kerja di Inggris sedang di Amerika hanya 8 unit. (10 > 8 ). 1 unit pakaian di Amerika memerlukan 4 unit tenaga kerja sedang di Inggris hanya 2 unit. Keadaan demikian ini dapat dikatakan bahwa Amerika memiliki absolute advantage pada produksi gandum dan Inggris memiliki absolute advantage pada produksi pakaian. Dikatakan absolute advantage karena masing-masing negara dapat menghasilkan satu macam barang dengan biaya yang secara absolut lebih rendah dari negara lain.

Kelebihan dari teori Absolute advantage yaitu terjadinya perdagangan bebas antara dua negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda, dimana terjadi interaksi ekspor dan impor hal ini meningkatkan kemakmuran negara. Kelemahannya yaitu apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan.

  • Comparative Advantage : JS Mill

Teori ini menyatakan bahwa suatu Negara akan menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki comparative advantage terbesar dan mengimpor barang yang dimiliki comparative diadvantage(suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan sendiri memakan ongkos yang besar )

Teori ini menyatakan bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut. Contoh  :

Produksi 10 orang dalam 1 minggu

Produksi Amerika Inggris
Gandum 6 bakul 2 bakul
Pakaian 10 yard 6 yard

Menurut teori ini perdagangan antara Amerika dengan Inggris tidak akan timbul karena absolute advantage untuk produksi gandum dan pakaian ada pada Amerika semua. Tetapi yang penting bukan absolute advantagenya tetapi comparative Advantagenya.

Besarnya comparative advantage untuk Amerika , dalam produksi gandum 6 bakul disbanding 2 bakul dari Inggris atau =3 : 1. Dalam produksi pakaian 10 yard dibanding 6 yard dari Inggris atau 5/3 : 1. Disini Amerika memiliki comparative advantage pada produksi gandum yakni 3 : 1 lebih besar dari 5/3 : 1.

Untuk Inggris, dalam produksi gandum 2 bakul disbanding 6 bakul dari Amerika atau 1/3 : 1. Dalam  produksi pakaian 6 yard dari Amerika Serikat atau = 3/5: 1. Comparative advantage ada pada produksi pakaian yakni 3/5 : 1 lebih besar dari 1/3 : 1. Oleh karena itu perdagangan akan timbul antara Amerika dengan Inggris, dengan spesialisasi gandum untuk Amerika dan menukarkan sebagian gandumnya dengan pakaian dari Inggris. Dasar nilai pertukaran (term of Trade ) ditentukan dengan batas – batas nilai tujar masing – masing barang didalam negeri.

Kelebihan untuk teori comparative advantage ini adalah dapat menerangkan berapa nilai tukar dan berapa keuntungan karena pertukaran dimana kedua hal ini tidak dapat diterangkan oleh teori absolute advantage.

II. COMPARATIVE COST DARI DAVID RICARDO

1.      Cost Comparative Advantage ( Labor efficiency )

Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu Negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana Negara tersebut dapat berproduksi relative lebih efisien serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi relative kurang/tidak efisien. Berdasarkan contoh hipotesis dibawah ini maka dapat dikatakan bahwa teori comparative advantage dari David Ricardo adalah cost comparative advantage.

Data Hipotesis Cost Comparative

Negara Produksi 1 Kg gula 1 m Kain
Indonesia 3 hari kerja 4 hari kerja
China 6 hari kerja 5 hari kerja

Indonesia memiliki keunggulan absolute dibanding Cina untuk kedua produk diatas, maka tetap dapat terjadi perdagangan internasional yang menguntungkan kedua Negara melalui spesialisasi jika Negara-negara tersebut memiliki cost comparative advantage atau labor efficiency.

Berdasarkan perbandingan Cost Comparative advantage efficiency, dapat dilihat bahwa tenaga kerja Indonesia lebih effisien dibandingkan tenaga kerja Cina dalam produksi 1 Kg gula ( atau hari kerja ) daripada produksi 1 meter kain ( hari bkerja) hal ini akan mendorong Indonesia melakukan spesialisasi produksi dan ekspor gula.

Sebaliknya tenaga kerja Cina ternyata lebih effisien dibandingkan tenaga kerja Indonesia dalam produksi 1 m kain ( hari kerja ) daripada produksi 1 Kg gula ( hari kerja) hal ini mendorong cina melakukan spesialisasi produksi dan ekspor kain.

2. Production Comperative Advantage ( Labor produktifiti)

Suatu Negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih produktif serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang / tidak produktif

Walaupun Indonesia memiliki keunggulan absolut dibandingkan cina untuk kedua produk, sebetulnya perdagangan internasional akan tetap dapat terjadi dan menguntungkan keduanya melalui spesialisasi di masing-masing negara yang memiliki labor productivity. kelemahan teori klasik Comparative Advantage tidak dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan fungsi produksi antara 2 negara. Sedangkan kelebihannya adalah perdagangan internasional antara dua negara tetap dapat terjadi walaupun hanya 1 negara yang memiliki keunggulan absolut asalkan masing-masing dari negara tersebut memiliki perbedaan dalam cost Comparative Advantage atau production Comparative Advantage.

Teori ini mencoba melihat kuntungan atau kerugian dalam perbandingan relatif. Teori ini berlandaskan pada asumsi:

  1. Labor Theory of Value, yaitu bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan barang tersebut, dimana nilai barang yang ditukar seimbang dengan jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk memproduksinya.
  2. Perdagangna internasional dilihat sebagai pertukaran barang dengan barang.
  3. Tidak diperhitungkannya biaya dari pengangkutan dan lain-lain dalam hal pemasaran
  4. Produksi dijalankan dengan biaya tetap, hal ini berarti skala produksi tidak berpengaruh.
    Faktor produksi sama sekali tidak mobile antar negara. Oleh karena itu , suatu negara akan melakukan spesialisasi dalam produksi barang-barang dan mengekspornya bilamana negara tersebut mempunyai keuntungan dan akan mengimpor barang-barang yang dibutuhkan jika mempunyai kerugian dalam memproduksi.

Paham klasik dapat menerangkan comparative advantage yang diperoleh dari perdagangan luar negeri timbul sebagai akibat dari perbedaan harga relatif ataupun tenaga kerja dari barang-barang tersebut yang diperdagangkan.

III. TEORI MODERN

Teori Heckscher-Ohlin (H-O) menjelaskan beberapa pola perdagangan dengan baik, negara-negara cenderung untuk mengekspor barang-barang yang menggunakan faktor produksi yang relatif melimpah secara intensif

Menurut Heckscher-Ohlin, suatu negara akan melakukan perdagangan dengan negara lain disebabkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi dan keunggulan faktor produksi. Basis dari keunggulan komparatif adalah:
1. Faktor endowment, yaitu kepemilikan faktor-faktor produksi didalam suatu negara.
2. Faktor intensity, yaitu teksnologi yang digunakan didalam proses produksi, apakah labor intensity atau capital intensity.

A. The Proportional Factors Theory

Teori modern Heckescher-ohlin atau teori H-O menggunakan dua kurva pertama adalah kurva isocost yaitu kurva yang menggabarkan total biaya produksi yang sama. Dan kurva isoquant yaitu kurva yang menggabarkan total kuantitas produk yang sama. Menurut teori ekonomi mikro kurva isocost akan bersinggungan dengan kurva isoquant pada suatu titik optimal. Jadi dengan biaya tertentu akan diperoleh produk yang maksimal atau dengan biaya minimal akan diperoleh sejumlah produk tertentu.

Analisis teori H-O :

a.       Harga atau biaya produksi suatu barang akan ditentukan oleh jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing Negara

b.      Comparative Advantage dari suatu jenis produk yang dimiliki masing-masing negara akan ditentukan oleh struktur dan proporsi faktor produksi yang dimilkinya.

c.       Masing-masing negara akan cenderung melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang tertentu karena negara tersebut memilki faktor produksi yang relatif banyak dan murah untuk memproduksinya

d.      Sebaliknya masing-masing negara akan mengimpor barang-barang tertentu karena negara tersebut memilki faktor produksi yang relatif sedikit dan mahal untuk memproduksinya
Kelemahan dari teori H-O yaitu jika jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara relatif sama maka harga barang yang sejenis akan sama pula sehingga perdagangan internasional tidak akan terjadi.

B. Paradoks Leontief

Wassily Leontief seorang pelopor utama dalam analisis input-output matriks, melalui study empiris yang dilakukannya pada tahun 1953 menemukan fakta, fakta itu mengenai struktur perdagangan luar negri (ekspor dan impor). Amerika serikat tahun 1947 yang bertentangan dengan teori H-O sehingga disebut sebagai paradoks leontief

Berdasarkan penelitian lebiih lanjut yang dilakukan ahli ekonomi perdagangan ternyata paradox liontief tersebut dapat terjadi karena empat sebab utama yaitu :

a.       Intensitas faktor produksi yang berkebalikan

b.      Tariff and Non tariff barrier

c.       Pebedaan dalam skill dan human capital

d.      Perbedaan dalam faktor sumberdaya alam

Kelebihan dari teori ini adalah jika suatu negara memiliki banyak tenaga kerja terdidik maka ekspornya akan lebih banyak. Sebaliknya jika suatu negara kurang memiliki tenaga kerja terdidik maka ekspornya akan lebih sedikit.

C. Teori Opportunity Cost

Opportunity Cost digambarkan sebagai production possibility curve ( PPC ) yang menunjukkan kemungkinan kombinasi output yang dihasilkan suatu Negara dengan sejumlah faktor produksi secara full employment. Dalam hal ini bentuk PPC akan tergantung pada asusmsi tentang Opportunity Cost yang digunakan yaitu PPC Constant cost dan PPC increasing cost

D. Offer Curve/Reciprocal Demand (OC/RD)

Teori Offer Curve ini diperkenalkan oleh dua ekonom inggris yaitu Marshall dan Edgeworth yang menggambarkan sebagai kurva yang menunjukkan kesediaan suatu Negara untuk menawarkan/menukarkan suatu barang dengan barang lainnya pada berbagai kemungkinan harga.

Kelebihan dari offer curve yaitu masing-masing Negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional yaitu mencapai tingkat kepuasan yang lebih tinggi.
Permintaan dan penawaran pada faktor produksi akan menentukan harga factor produksi tersebut dan dengan pengaruh teknologi akan menentukan harga suatu produk. Pada akhirnya semua itu akan bermuara kepada penentuan comparative advantage dan pola perdagangan (trade pattern) suatu negara. Kualitas sumber daya manusia dan teknologi adalah dua faktor yang senantiasa diperlukan untuk dapat bersaing di pasar internasional. Teori perdagangan yang baik untuk diterapkan adalah teori modern yaitu teori Offer Curve.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-44/PJ/2008

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER – 44/PJ/2008
TANGGAL : 20 OKTOBER 2008

TATA CARA PENDAFTARAN DAN PEMBERIAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK,
DAN/ATAU PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK SERTA PERUBAHAN DATA
DAN PEMINDAHAN WAJIB PAJAK DAN/ATAU PENGUSAHA KENA PAJAK

I. Umum

1. Petugas Pendaftaran Wajib Pajak adalah petugas yang ditunjuk oleh Kepala KPP/KP4/KP2KP untuk melayani Pendaftaran Wajib Pajak, Pelaporan dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Perubahan Data Wajib Pajak, Perpindahan Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak, Pencabutan SKT dan Penghapusan NPWP dan/atau Pencabutan SPPKP, dan baik yang diterima secara langsung, melalui Pos secara tercatat maupun dari KP4/KP2KP:
2. Data pendukung yang perlu disiapkan oleh Wajib Pajak untuk mengisi formulir permohonan antara lain sebagai berikut:
a. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan/tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas:
 Kartu Tanda Penduduk bagi Penduduk Indonesia, atau paspor bagi orang asing
b. Untuk Wajib Pajak Badan:
 Akte pendirian dan perubahan atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap;
 NPWP Pimpinan/Penanggung Jawab Badan;
 Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia, atau paspor bagi orang asing sebagai penanggung jawab.
c. Untuk Bendahara sebagai Wajib Pajak Pemungut/Pemotong:
 surat penunjukan sebagai Bendahara;
 Kartu Tanda Penduduk Bendahara.
d. Untuk Joint Operation sebagai Wajib Pajak Pemungut/Pemotong:
 Perjanjian Kerjasama/Akte Pendirian sebagai Joint Operation;
 Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia, atau paspor bagi orang asing sebagai penanggung jawab;
 NPWP Pimpinan/Penanggung Jawab JO.
3. Pengisian alamat tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha pada formulir didasarkan pada kenyataan atau menurut keadaan sebenarnya, tidak pada pertimbangan yang bersifat formal.
4. Wajib Pajak mendaftarkan diri pada KPP yang wilayah kerjanya sesuai dengan tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 3, tanpa harus sesuai dengan alamat tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha pada dokumen formal seperti KTP/Paspor.
5. Bagi permohonan berstatus cabang, Wajib Pajak Orang Pribadi pengusaha tertentu atau wanita kawin tidak pisah harta harus memiliki NPWP Kantor Pusat/domisili/suami.
6. Apabila permohonan ditandatangani oleh orang lain, harus memiliki surat kuasa khusus.
7. Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan hardcopy data pendukung sebagaimana dimaksud pada Bagian I angka 2 (dua) pada saat menyampaikan formulir permohonan pendaftaran Wajib Pajak dan/atau formulir permohonan pengukuhan PKP.
8. Perubahan data Wajib Pajak dan/atau PKP antara lain meliputi :
a. Perubahan Nama Wajib Pajak dan/atau PKP karena penggantian nama;
b. Perubahan bentuk badan hukum;
c. Perubahan alamat Wajib Pajak dan/atau PKP karena perpindahan tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha dalam wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak yang sama;
d. Perubahan status Wajib Pajak dan/atau PKP;
e. Perubahan jenis usaha karena ada perubahan kegiatan usaha Wajib Pajak dan/atau PKP.
9. Pemindahan Wajib Pajak dan/atau PKP adalah Perubahan alamat Wajib Pajak dan/atau PKP karena perpindahan tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha ke wilayah kerja KPP lain.
10. Petugas konfirmasi lapangan adalah Account Representative yang menangani Wajib Pajak tersebut atau pelaksana pada Seksi Ekstensifikasi Perpajakan atau petugas lain yang ditunjuk oleh Kepala KPP untuk melakukan konfirmasi lapangan.

II. Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pelaporan dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak di KPP.

1. Wajib Pajak harus mengisi Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak dan/atau Formulir Permohonan Pengukuhan PKP secara lengkap dan jelas. Dalam hal Wajib Pajak membutuhkan bantuan dalam mengisi formulir tersebut dapat menanyakan kepada Petugas Pendaftaran Wajib Pajak.
2. Wajib Pajak menyerahkan Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak dan/atau Formulir Pengukuhan PKP yang telah diisi secara lengkap dan jelas serta ditandatangani Wajib Pajak atau kuasanya kepada Petugas Pendaftaran Wajib Pajak.
3. Dalam hal formulir permohonan sebagaimana dimaksud pada butir 1 belum diisi secara lengkap, Petugas Pendaftaran Wajib Pajak mengembalikan formulir kepada pemohon untuk dilengkapi.
4. Wajib Pajak menerima Bukti Penerimaan Surat (BPS) yang telah di ditandatangani oleh petugas pendaftaran setelah Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak dan/atau Formulir Pengukuhan PKP dilengkapi.
5. Dalam hal Wajib Pajak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP, kepada Wajib Pajak diberikan SKT dan/atau SPPKP dan Kartu NPWP.
6. Jangka waktu penyelesaian permohonan pendaftaran NPWP dan/atau permohonan pengukuhan PKP paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.
7. Setelah menerbitkan SKT dan Kartu NPWP serta SPPKP, Kepala Kantor dalam jangka waktu paling lama 1 tahun menugaskan petugas konfirmasi lapangan untuk melakukan konfirmasi lapangan dengan prioritas sesuai tingkat resiko Wajib Pajak Baru dalam rangka membuktikan kebenaran pengisian formulir/data yang disampaikan Wajib Pajak.
8. Kategori Wajib Pajak sebagai Wajib Pajak berisiko antara lain:
a. Wajib Pajak yang dikirimi surat tetapi “Kembali dari Pos (Kempos)” dengan dibubuhi catatan dari Kantor Pos berupa.
 Nama tidak dikenal; atau
 Alamat tidak ditemukan; atau
 Rumah/gedung tidak dihuni
b. Tidak menyampaikan SPT.
c. Wajib Pajak yang sering berpindah KPP tempat terdaftar.
d. Wajib Pajak yang sering berpindah alamat tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat usaha.
e. Wajib Pajak yang melaporkan adanya kegiatan ekspor.
f. Wajib Pajak yang melakukan kegiatan impor (terlihat dari adanya pembayaran pajak dalam rangka impor) tetapi tidak berstatus sebagai PKP.
g. Wajib Pajak yang mengajukan permohonan restitusi.
h. Wajib Pajak yang tidak berstatus sebagai PKP tetapi menyampaikan SPT Masa PPN.
i. Wajib Pajak baru berdiri langsung melakukan penyerahan dalam jumlah besar tetapi jumlah kurang bayarnya relatif kecil.
j. Wajib Pajak-Wajib Pajak Badan yang akte pendiriannya dibuat di hadapan notaris yang sama dan tanggal pendiriannya pada waktu yang bersamaan atau berdekatan.
k. Wajib Pajak yang memiliki nama yang aneh (misalnya Mr. X, PT ABCDE, XYZ.
l. Wajib Pajak lain yang menurut pertimbangan Kepala KPP termasuk Wajib Pajak berisiko.
9. Dalam hal hasil konfirmasi lapangan menunjukkan bahwa data yang disampaikan oleh Wajib Pajak terdaftar dan/atau PKP terdaftar tidak benar, KPP menerbitkan Surat Penghapusan NPWP, Surat Pencabutan SKT dan/atau Surat Pencabutan SPPKP secara jabatan untuk disampaikan kepada Wajib Pajak dan/atau PKP.
10. Dalam hal tempat tinggal atau tempat kedudukan usaha dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dan/atau PKP di wilayah KP4/KP2KP yang tidak sekota dengan KPP, Kepala KPP dapat meminta bantuan KP4/KP2KP untuk membuktikan kebenaran data yang disampaikan oleh Wajib Pajak dan/atau PKP.
11. Dalam hal KPP menerima permohonan pendaftaran NPWP dan/atau pengukuhan PKP yang disampaikan oleh Wajib Pajak dan/atau PKP melalui KP4/KP2KP, KPP menindaklanjuti sebagaimana Bagian II angka 5 sd. angka 9.

III. Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pelaporan dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak melalui KP4/KP2KP

1. Wajib Pajak melakukan langkah-langkah sama sebagaimana tercantum dalam Bagian II angka 1. sd. 3.
2. Wajib Pajak menerima BPS yang ditandatangani Petugas Pendaftaran Wajib Pajak, Bukti Pendaftaran Wajib Pajak dan/atau Bukti Pelaporan PKP, yang telah ditandatangani Kepala KP4/KP2KP setelah Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak dan/atau Formulir Pengukuhan PKP diisi secara lengkap.
3. KP4/KP2KP mengirimkan Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak dan/atau Formulir Pengukuhan PKP, Bukti Pendaftaran Wajib Pajak lembar ke-2 dan/atau Bukti Pelaporan PKP lembar ke-2 ke KPP paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.

IV. Tata Cara Perubahan Data dan Wajib Pajak Pindah dan/atau Perubahan Data dan PKP Pindah di KPP

1. Wajib Pajak dan/atau PKP harus mengisi Formulir Permohonan Perubahan Data dan Wajib Pajak Pindah atau Formulir Permohonan Perubahan Data dan PKP Pindah secara lengkap dan jelas. Dalam hal Wajib Pajak membutuhkan bantuan dalam mengisi formulir tersebut dapat menanyakan kepada Petugas Pendaftaran Wajib Pajak.
2. Wajib Pajak dan/atau PKP menyerahkan Formulir Permohonan Perubahan Data dan Wajib Pajak Pindah atau Formulir Permohonan Perubahan Data dan PKP Pindah yang telah diisi secara lengkap dan jelas serta di tandatangani Wajib Pajak dan/atau PKP atau kuasanya kepada Petugas Pendaftaran Wajib Pajak.
3. Dalam hal formulir permohonan sebagaimana dimaksud pada butir 1 belum diisi secara lengkap, Petugas Pendaftaran Wajib Pajak mengembalikan formulir kepada pemohon untuk dilengkapi.
4. Wajib Pajak dan/atau PKP menerima Bukti Penerimaan Surat (BPS) yang ditandatangani oleh Petugas Pendaftaran Wajib Pajak setelah Formulir Permohonan Perubahan Data dan Wajib Pajak Pindah atau Formulir Permohonan Perubahan Data dan PKP Pindah diisi secara lengkap.
5. Dalam hal Wajib Pajak dan/atau PKP mengajukan pindah melalui KPP Baru, KPP Baru meneruskan Permohonan Pindah ke KPP Lama untuk ditindaklajuti oleh KPP Lama.
6. KPP Lama menerbitkan Surat Pindah paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan secara lengkap dan diberikan kepada Wajib Pajak dan/atau PKP terdaftar serta ditembuskan ke KPP Baru.
7. KPP Baru menerbitkan SKT dan/atau SPPKP dan Kartu NPWP paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak diterimanya tembusan Surat Pindah dari KPP Lama.
8. KPP Lama menerbitkan Surat Pencabutan SKT dan/atau Surat Pencabutan SPPKP paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak diterimanya tembusan SKT dan/atau SPPKP dari KPP Baru.
9. Dalam hal Wajib Pajak dan/atau PKP terdaftar mengajukan permohonan perubahan data, KPP menerbitkan SKT dan/atau SPPKP dan Kartu NPWP paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.
10. Setelah menerbitkan SKT dan Kartu NPWP serta SPPKP, Kepala Kantor dalam jangka waktu paling lama 1 tahun menugaskan petugas konfirmasi lapangan untuk melakukan konfirmasi lapangan dengan prioritas sesuai tingkat resiko Wajib Pajak Baru dalam rangka membuktikan kebenaran pengisian formulir/data yang disampaikan Wajib Pajak.
11. Dalam hal hasil konfirmasi lapangan menunjukkan bahwa data yang disampaikan oleh Wajib Pajak terdaftar dan/atau PKP terdaftar tidak benar, KPP menerbitkan Surat Penghapusan NPWP, Surat Pencabutan SKT dan/atau Surat Pencabutan SPPKP secara jabatan untuk disampaikan kepada Wajib Pajak dan/atau PKP.
12. Dalam hal tempat tempat tinggal atau tempat kedudukan usaha dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dan/atau PKP di wilayah KP4/KP2KP yang tidak sekota dengan KPP, Kepala KPP dapat meminta bantuan KP4/KP2KP untuk membuktikan kebenaran data yang disampaikan oleh Wajib Pajak dan/atau PKP.
13. Dalam hal KPP menerima permohonan perubahan data yang disampaikan oleh Wajib Pajak dan/atau PKP melalui KP4/KP2KP, KPP menindaklanjuti sebagaimana Bagian IV angka 9.

V. Tata Cara Perubahan Data Wajib Pajak dan/atau PKP melalui KP4/KP2KP

1. Wajib Pajak dan/atau PKP dan petugas pendaftaran Wajib Pajak melakukan langkah-langkah sebagaimana langkah Bagian IV angka 1 sd. 3.
2. Wajib Pajak dan/atau PKP menerima BPS permohonan perubahan data yang ditandatangani petugas pendaftaran Wajib Pajak setelah Formulir Permohonan Perubahan Data dan Wajib Pajak Pindah atau Formulir Permohonan Perubahan Data dan PKP Pindah diisi secara lengkap.
3. KP4/KP2KP meneruskan permohonan perubahan data Wajib Pajak dan/atau PKP ke KPP Wajib Pajak terdaftar dan/atau PKP terdaftar paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.

LAMPIRAN II
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER – 44/PJ/2008
TANGGAL : 20 OKTOBER 2008

BENTUK DAN JENIS FORMULIR

1. Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak untuk Orang Pribadi
2. Permohonan Perubahan Data dan Wajib Pajak Pindah untuk Orang Pribadi
3. Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak untuk Badan/Joint Operation
4. Permohonan Perubahan Data dan Wajib Pajak Pindah untuk Badan/Joint Operation
5. Permohonan Pendaftaran untuk Bendahara
6. Permohonan Perubahan Data dan Wajib Pajak Pindah untuk Bendahara
7. Permohonan Pengukuhan PKP untuk OP/Badan/Joint Operation
8. Permohonan Perubahan Data dan PKP Pindah
9. Surat Keterangan Terdaftar (SKT)
10. Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (SPPKP)
11. Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak
12. Bukti Pendaftaran Wajib Pajak
13. Bukti Pelaporan Pengusaha Kena Pajak
14. Surat Pencabutan Surat Keterangan Terdaftar
15. Surat Pencabutan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
16. Surat Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak
17. Surat Tugas Konfirmasi Lapangan
18. Berita Acara Hasil Konfirmasi lapangan
19. Surat Pindah

LAMPIRAN II.1
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER – 44/PJ/2008
TANGGAL : 20 OKTOBER 2008

PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR
PERMOHONAN PENDAFTARAN WAJIB PAJAK UNTUK
WP ORANG PRIBADI

Kolom isian NPWP Induk diisi oleh WP orang pribadi yang berstatus cabang atau isteri yang tidak pisah harta atau orang pribadi pengusaha tertentu.

A. IDENTITAS WAJIB PAJAK

1. Titel : Diisi sesuai dengan title/gelar yang dimiliki Wajib Pajak.
Diisi gelar akademis, profesi, adat, keagamaan.
Contoh : Dr., PhD., Ak., RM., Hj.
2. Nama Wajib Pajak
Diisi nama terang secara lengkap tidak singkat.
Contoh : MUHAMMAD ABDUL SYUKUR
SIGIT SETYO NUGROHO
3. Cukup Jelas
4. Cukup Jelas
5. Diisi sesuai kebangsaannya, dalam hal memilih WNI WP wajib mengisi NIK/Nomor KTP sedangkan apabila WNA, WP wajib mengisi Nomor Paspor.
6. Cukup Jelas

B. ALAMAT TEMPAT TINGGAL SEKARANG

7. Alamat tempat tinggal
Pengisian alamat tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha pada formulir didasarkan pada kenyataan atau menurut keadaan sebenarnya, tidak pada pertimbangan yang bersifat formal. Alamat diisi sesuai dengan keadaan sebenarnya sekarang, bukan berdasarkan data KTP atau Paspor.
– Dalam hal WP tinggal di Apartemen, Alamat diisi sesuai alamat Apartemen
– Jalan : KH. WAHID HASYIM APARTEMEN CENTURY PARK
SAKTI V KOMPLEK KEUANGAN
JEND. SUDIRMAN KAV. 12 WISMA BCA LT.3
– Blok : Cukup jelas.
– Nomor : Cukup jelas.
– RT/RW : Diisi dengan angka Arab (angka biasa) 3 digit
– Kelurahan : Cukup jelas.
– Kecamatan : Cukup jelas.
– Kota/Kabupaten : Cukup jelas.
– Kode Pos : Cukup jelas.
– Propinsi : Cukup jelas.

8. Cukup Jelas

C. WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI YANG MELAKUKAN USAHA SENDIRI

9. Jenis Usaha/Pekerjaan Bebas diisi oleh WP sesuai bidang usahanya
10. Alamat kegiatan usaha diisi sesuai alamat tempat WP orang pribadi melakukan usaha.
11. Merk Dagang/Usaha : diisi nama usaha.
Contoh:
– TOKO BINTANG
– JAMU CAP JAGO
12. Diisi “Ya” dalam hal WP mengajukan permohonan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

D. PERNYATAAN

12. Pernyataan
Cukup jelas
Catatan :
Formulir Pendaftaran Wajib Pajak ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon.
Dalam hal pengukuhan secara jabatan ditandatangani oleh pengusul.

LAMPIRAN II.2
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER – 44/PJ/2008
TANGGAL : 20 OKTOBER 2008

PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR
PERMOHONAN PERUBAHAN DATA DAN WAJIB PAJAK PINDAH UNTUK
WP ORANG PRIBADI

Kolom sebelum Bagian A, B, dan C diisi sesuai dengan jenis permohonan yang dibutuhkan oleh Wajib Pajak. Wajib Pajak terdaftar harus mengisi NPWP yang sudah dimiliki di kolom pengisian NPWP.

A. IDENTITAS WAJIB PAJAK

1. Titel : Diisi sesuai dengan title/gelar yang dimiliki Wajib Pajak.
Diisi gelar akademis, profesi, adat, keagamaan.
Contoh : Dr., PhD., Ak., RM., Hj.
2. Nama Wajib Pajak
Diisi nama terang secara lengkap tidak singkat.
Contoh : MUHAMMAD ABDUL SYUKUR
SIGIT SETYO NUGROHO
3. Cukup Jelas
4. Cukup Jelas
5. Diisi sesuai kebangsaannya, dalam hal memilih WNI WP wajib mengisi NIK/Nomor KTP sedangkan apabila WNA, WP wajib mengisi Nomor Paspor.
6. Cukup Jelas

B. ALAMAT TEMPAT TINGGAL SEKARANG

7. Alamat tempat tinggal
Pengisian alamat tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha pada formulir didasarkan pada kenyataan atau menurut keadaan sebenarnya, tidak pada pertimbangan yang bersifat formal. Alamat diisi sesuai dengan keadaan sebenarnya sekarang, bukan berdasarkan data KTP atau Paspor.
– Dalam hal WP tinggal di Apartemen, Alamat diisi sesuai alamat Apartemen
– Jalan : KH. WAHID HASYIM APARTEMEN CENTURY PARK
SAKTI V KOMPLEK KEUANGAN
JEND. SUDIRMAN KAV. 12 WISMA BCA LT.3
– Blok : Cukup jelas.
– Nomor : Cukup jelas.
– RT/RW : Diisi dengan angka Arab (angka biasa) 3 digit
– Kelurahan : Cukup jelas.
– Kecamatan : Cukup jelas.
– Kota/Kabupaten : Cukup jelas.
– Kode Pos : Cukup jelas.
– Propinsi : Cukup jelas.

8. Cukup Jelas

C. WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI YANG MELAKUKAN USAHA SENDIRI

9. Jenis Usaha/Pekerjaan Bebas diisi oleh WP sesuai bidang usahanya
10. Alamat kegiatan usaha diisi sesuai alamat tempat WP orang pribadi melakukan usaha.
11. Merk Dagang/Usaha : diisi nama usaha.
Contoh:
– TOKO BINTANG
– JAMU CAP JAGO

D. PERNYATAAN

12. Pernyataan
Cukup jelas
Catatan :
Formulir Pendaftaran Wajib Pajak ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon.
Dalam hal pengukuhan secara jabatan ditandatangani oleh pengusul.

LAMPIRAN II.3
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER – 44/PJ/2008
TANGGAL : 20 OKTOBER 2008

PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR
PERMOHONAN PENDAFTARAN WAJIB PAJAK UNTUK
WP BADAN/JOINT OPERATION

Kolom isian NPWP sebelum isian Bagian A diisi oleh WP Badan dengan status cabang/Joint Operation.

A. IDENTITAS WAJIB PAJAK BADAN ATAU JOINT OPERATAION

1. Cukup Jelas
2. Diisi sesuai dengan bentuk badan hukum perusahaan yang ada dalam akte pendirian perusahaan.
3. Usaha
Pusat: Apabila WP Badan berperan menjadi pusat
Cabang : Apabila WP berperan sebagai cabang dari perusahaan induk
Joint Operation: Apabila status WP adalah Joint Operation
Jenis Usaha : Cukup Jelas
4. Alamat tempat kedudukan
– Jalan : KH. WAHID HASYIM APARTEMEN CENTURY PARK
SAKTI V KOMPLEK KEUANGAN
JEND. SUDIRMAN KAV. 12 WISMA BCA LT.3
– Blok : Cukup jelas.
– Nomor : Cukup jelas.
– RT/RW : Diisi dengan angka Arab (angka biasa) 3 digit
– Kelurahan : Cukup jelas.
– Kecamatan : Cukup jelas.
– Kota/Kabupaten : Cukup jelas.
– Kode Pos : Cukup jelas.
– Propinsi : Cukup jelas.

5. Cukup Jelas.
6. Cukup Jelas.
7. Cukup Jelas.
8. Cukup Jelas.
9. Identitas Pimpinan/Penanggung Jawab
Titel/Gelar : Diisi sesuai title atau gelar pimpinan perusahaan
Nama : Cukup diisi nama lengkap pimpinan tanpa gelar
Jabatan : Diisi sesuai jabatan pimpinan perusahaan tersebut
Kebangsaan : Diisi sesuai kebangsaan pimpinan perusahaan
NPWP : diisi NPWP Pimpinan perusahaan
Pengisian data selanjutnya cukup jelas.

B. PERMOHONAN UNTUK DIKUKUHKAN SEBAGAI PKP

10. Diisi “Ya” dalam hal WP mengajukan permohonan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

C. PERNYATAAN

11. Pernyataan
Cukup jelas
Catatan :
Formulir Pendaftaran Wajib Pajak ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon.
Dalam hal pengukuhan secara jabatan ditandatangani oleh pengusul.

LAMPIRAN II.4
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER – 44/PJ/2008
TANGGAL : 20 OKTOBER 2008

PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR
PERMOHONAN PERUBAHAN DATA DAN WAJIB PAJAK PINDAH UNTUK
WP BADAN/JOINT OPERATION

Kolom sebelum Bagian A diisi sesuai dengan jenis permohonan yang dibutuhkan oleh Wajib Pajak.
Wajib Pajak terdaftar harus mengisi NPWP yang sudah dimiliki di kolom pengisian NPWP.

A. IDENTITAS WAJIB PAJAK BADAN ATAU JOINT OPERATAION

1. Cukup Jelas
2. Diisi sesuai dengan bentuk badan hukum perusahaan yang ada dalam akte pendirian perusahaan.
3. Usaha
Pusat: Apabila WP Badan berperan menjadi pusat
Cabang : Apabila WP berperan sebagai cabang dari perusahaan induk
Joint Operation: Apabila status WP adalah Joint Operation
Jenis Usaha : Cukup Jelas
4. Alamat tempat kedudukan
– Jalan : KH. WAHID HASYIM APARTEMEN CENTURY PARK
SAKTI V KOMPLEK KEUANGAN
JEND. SUDIRMAN KAV. 12 WISMA BCA LT.3
– Blok : Cukup jelas.
– Nomor : Cukup jelas.
– RT/RW : Diisi dengan angka Arab (angka biasa) 3 digit
– Kelurahan : Cukup jelas.
– Kecamatan : Cukup jelas.
– Kota/Kabupaten : Cukup jelas.
– Kode Pos : Cukup jelas.
– Propinsi : Cukup jelas.

5. Cukup Jelas.
6. Cukup Jelas
7. Cukup Jelas
8. Cukup Jelas
9. Identitas Pimpinan/Penanggung Jawab
Titel/Gelar : Diisi sesuai title atau gelar pimpinan perusahaan
Nama : Cukup diisi nama lengkap pimpinan tanpa gelar
Jabatan : Diisi sesuai jabatan pimpinan perusahaan tersebut
Kebangsaan : Diisi sesuai kebangsaan pimpinan perusahaan
NPWP : diisi NPWP Pimpinan perusahaan
Pengisian data selanjutnya cukup jelas.

B. PERNYATAAN

10. Pernyataan
Cukup jelas
Catatan :
Formulir Pendaftaran Wajib Pajak ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon.
Dalam hal pengukuhan secara jabatan ditandatangani oleh pengusul.

LAMPIRAN II.5
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER – 44/PJ/2008
TANGGAL : 20 OKTOBER 2008

PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR
PERMOHONAN PENDAFTARAN WAJIB PAJAK UNTUK
WP BENDAHARA

A. IDENTITAS WAJIB PAJAK

1. Diisi sesuai identitas WP Bendahara, misalkan: Bendahara Kantor Pusat DJP, Bendahara Kecamatan Rawa Belong dst.
2. Diisi sesuai dengan Satuan Kerja/Instansi Bendahara misalkan: Kantor Pemda Kabupaten Tangerang, Kantor Pusat DJP dst.
3. Alamat tempat kedudukan Instansi/Satuan Kerja
Diisi sesuai dengan keadaan sebenarnya sekarang, bukan berdasarkan data KTP atau Paspor.
– Dalam hal WP tinggal di Apartemen, Alamat diisi sesuai alamat Apartemen
– Jalan : KH. WAHID HASYIM APARTEMEN CENTURY PARK
SAKTI V KOMPLEK KEUANGAN
JEND. SUDIRMAN KAV. 12 WISMA BCA LT.3
– Blok : Cukup jelas.
– Nomor : Cukup jelas.
– RT/RW : Diisi dengan angka Arab (angka biasa) 3 digit
– Kelurahan : Cukup jelas.
– Kecamatan : Cukup jelas.
– Kota/Kabupaten : Cukup jelas.
– Kode Pos : Cukup jelas.
– Propinsi : Cukup jelas.

4. Diisi sesuai dengan Nomor Surat penunjukan Bendahara dari Menteri Keuangan RI
5. Diisi dengan no telepon/facsimile Satuan Kerja atau Instansi Bendahara.

B. IDENTITAS PRIBADI BENDAHARA

6. Diisi sesuai dengan nama yang tertera dalam Surat Penunjukan Bendahara
7. Cukup Jelas
8. Disii dengan nomor telepon, nomor Handphone dan e-mail Bendahara.

C. PERNYATAAN

9. Pernyataan
Cukup jelas
Catatan :
Formulir Pendaftaran ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon. Dalam hal pengukuhan secara jabatan ditandatangani oleh pengusul.

LAMPIRAN II.6
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER – 44/PJ/2008
TANGGAL : 20 OKTOBER 2008

PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR
PERMOHONAN PERUBAHAN DATA DAN WAJIB PAJAK PINDAH UNTUK
WP BENDAHARA

Kolom sebelum Bagian A diisi sesuai dengan jenis permohonan yang dibutuhkan oleh Wajib Pajak.
Wajib Pajak terdaftar harus mengisi NPWP yang sudah dimiliki di kolom pengisian NPWP.

A. IDENTITAS WAJIB PAJAK

1. Diisi sesuai identitas WP Bendahara, misalkan: Bendahara Kantor Pusat DJP, Bendahara Kecamatan Rawa Belong dst.
2. Diisi sesuai dengan Satuan Kerja/Instansi Bendahara misalkan: Kantor Pemda Kabupaten Tangerang, Kantor Pusat DJP dst.
3. Alamat tempat kedudukan Instansi/Satuan Kerja
Diisi sesuai dengan keadaan sebenarnya sekarang, bukan berdasarkan data KTP atau Paspor.
– Dalam hal WP tinggal di Apartemen, Alamat diisi sesuai alamat Apartemen
– Jalan : KH. WAHID HASYIM APARTEMEN CENTURY PARK
SAKTI V KOMPLEK KEUANGAN
JEND. SUDIRMAN KAV. 12 WISMA BCA LT.3
– Blok : Cukup jelas.
– Nomor : Cukup jelas.
– RT/RW : Diisi dengan angka Arab (angka biasa) 3 digit
– Kelurahan : Cukup jelas.
– Kecamatan : Cukup jelas.
– Kota/Kabupaten : Cukup jelas.
– Kode Pos : Cukup jelas.
– Propinsi : Cukup jelas.

4. Diisi sesuai dengan Nomor Surat penunjukan Bendahara dari Menteri Keuangan RI
5. Diisi dengan no telepon/facsimile Satuan Kerja atau Instansi Bendahara.

B. IDENTITAS PRIBADI BENDAHARA

6. Diisi sesuai dengan nama yang tertera dalam Surat Penunjukan Bendahara
7. Cukup Jelas
8. Disii dengan nomor telepon, nomor Handphone dan e-mail Bendahara.

C. PERNYATAAN

9. Pernyataan
Cukup jelas
Catatan :
Formulir Pendaftaran ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon. Dalam hal pengukuhan secara jabatan ditandatangani oleh pengusul.

LAMPIRAN II.7
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER – 44/PJ/2008
TANGGAL : 20 OKTOBER 2008

PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR
PERMOHONAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK

Formulir Permohonan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) digunakan dalam hal Wajib Pajak mengajukan pengajuan pengukuhan PKP baik bersamaan dengan permohonan NPWP maupun permohonan diajukan sesudah memperoleh NPWP.
Formulir Permohonan Pengukuhan PKP ini digunakan oleh orang pribadi atau badan atau joint operation.
Dalam hal sebelumnya WP telah memiliki NPWP tetapi belum mengajukan PKP maka WP wajib mengisi kolom isian NPWP sebelum bagian A. Dalam hal WP mengajukan NPWP dan Pengajuan PKP maka WP tidak perlu mengisi kolom isisan NPWP sebelum Bagian A.

Bagian A.

Penentuan kegiatan usaha yang wajib melaporkan SPT Masa PPN, dalam hal WP hanya memiliki satu tempat kegiatan usaha maka WP memilih “tidak” sedangkan dalam hal WP memiliki lebih dari satu tempat kegiatan dalam satu KPP maka WP mengisi “Ya”

Bagian B

Diisi dalam hal WP memiliki lebih dari satu tempat kegiatan usaha dalam satu KPP.dan WP harus memilih salah satu tempat kegiatan usaha untuk menjadi alamat pelaporan SPT Masa PPN. Bagian B ini tidak perlu diisi dalam hal WP hanya memiliki satu tempat kegiatan usaha dalam satu wilayah KPP.
Penulisan alamat yang digunakan sebagai tempat kegiatan usaha oleh PKP sebagai berikut:
– Jalan : KH. WAHID HASYIM APARTEMEN CENTURY PARK
SAKTI V KOMPLEK KEUANGAN
JEND. SUDIRMAN KAV. 12 WISMA BCA LT.3
– Blok : Cukup jelas.
– Nomor : Cukup jelas.
– RT/RW : Diisi dengan angka Arab (angka biasa) 3 digit
– Kelurahan : Cukup jelas.
– Kecamatan : Cukup jelas.
– Kota/Kabupaten : Cukup jelas.
– Kode Pos : Cukup jelas.
– Propinsi : Cukup jelas.
– Nomor Telepon : Cukup jelas.
– Nomor Handphone : Cukup jelas.
– Email : Cukup jelas.

Bagian C. PERNYATAAN
Pernyataan
Cukup jelas
Catatan :
Formulir Permohonan Pengukuhan PKP ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon.
Dalam hal pengukuhan secara jabatan ditandatangani oleh pengusul.

LAMPIRAN II.8
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER – 44/PJ/2008
TANGGAL : 20 OKTOBER 2008

PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR
PERMOHONAN PERUBAHAN DATA DAN PKP PINDAH UNTUK
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI/BADAN/JO

Kolom sebelum Bagian A diisi sesuai dengan jenis permohonan yang dibutuhkan oleh Wajib Pajak.
Wajib Pajak terdaftar harus mengisi NPWP yang sudah dimiliki di kolom pengisian NPWP.

Bagian A.

Penentuan kegiatan usaha yang wajib melaporkan SPT Masa PPN, dalam hal WP hanya memiliki satu tempat kegiatan usaha maka WP memilih “tidak” sedangkan dalam hal WP memiliki lebih dari satu tempat kegiatan dalam satu KPP maka WP mengisi “Ya”

Bagian B

Diisi dalam hal WP memiliki lebih dari satu tempat kegiatan usaha dalam satu KPP.dan WP harus memilih salah satu tempat kegiatan usaha untuk menjadi alamat pelaporan SPT Masa PPN. Bagian B ini tidak perlu diisi dalam hal WP hanya memiliki satu tempat kegiatan usaha dalam satu wilayah KPP.
Penulisan alamat yang digunakan sebagai tempat kegiatan usaha oleh PKP sebagai berikut:
– Jalan : KH. WAHID HASYIM APARTEMEN CENTURY PARK
SAKTI V KOMPLEK KEUANGAN
JEND. SUDIRMAN KAV. 12 WISMA BCA LT.3
– Blok : Cukup jelas.
– Nomor : Cukup jelas.
– RT/RW : Diisi dengan angka Arab (angka biasa) 3 digit
– Kelurahan : Cukup jelas.
– Kecamatan : Cukup jelas.
– Kota/Kabupaten : Cukup jelas.
– Kode Pos : Cukup jelas.
– Propinsi : Cukup jelas.
– Nomor Telepon : Cukup jelas.
– Nomor Handphone : Cukup jelas.
– Email : Cukup jelas.

Bagian C. PERNYATAAN
Pernyataan
Cukup jelas
Catatan :
Formulir Permohonan Pengukuhan PKP ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon.
Dalam hal pengukuhan secara jabatan ditandatangani oleh pengusul.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007

PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

1. bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan untuk lebih memberikan kepastian hukum serta mengantisipasi perkembangan di bidang teknologi informasi dan perkembangan yang terjadi dalam ketentuan-ketentuan material di bidang perpajakan perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000

2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:

1. Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3566);

2. Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984),

diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

3. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

4. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.

5. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.

6. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

7. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.

8. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

9. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.

10. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

11. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

12. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.

13. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.

14. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

15. Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

16. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.

17. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.

18. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

19. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.

20. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.

21. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.

22. Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.

23. Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.

24. Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.

25. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

26. Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

27. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.

28. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

29. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.

30. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.

31. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

32. Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

33. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.

34. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.

35. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

36. Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan gugatan.

37. Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak.

38. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu.

39. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.

40. Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung.

41. Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.

2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

(1) Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

(2) Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan:
1. tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2); dan/atau
2. tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.

(4) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).

(4a) Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.

(5) Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(6) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
1. diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
2. Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
3. Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
4. dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

(7) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.

(8) Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

(9) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.

3. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2A

Masa Pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender.

4. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

(1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

(1a) Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(1b) Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau mengambil dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
1. untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;
2. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
3. untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

(3a) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dapat melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1 (satu) Surat Pemberitahuan Masa.

(3b) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(3c) Batas waktu dan tata cara pelaporan atas pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh bendahara pemerintah dan badan tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(4) Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(5) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disertai dengan penghitungan sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(5a) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat diterbitkan Surat Teguran.

(6) Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan, dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(7) Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila:
1. Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
2. Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6);
3. Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis; atau
4. Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak.

(7a) Apabila Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Direktur Jenderal Pajak wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak.

(8) Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

5. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4

(1) Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya.

(2) Surat Pemberitahuan Wajib Pajak badan harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi.

(3) Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa khusus tersebut harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan.

(4) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.

(4a) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah laporan keuangan dari masing-masing Wajib Pajak.

(4b) Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan pada Surat Pemberitahuan, Surat Pemberitahuan dianggap tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7) huruf b.

(5) Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

6. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

(1) Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke kantor Direktorat Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk dan kepada Wajib Pajak diberikan bukti penerimaan.

(2) Penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat atau dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(3) Tanda bukti dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut telah lengkap.

7. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7

(1) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.

(2) Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
2. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
3. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia;
4. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
5. Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
6. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
7. Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; atau
8. Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

8. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8

(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.

(1a) Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.

(2) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

(2a) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

(3) Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
(4) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
1. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
2. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
3. jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
4. jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil
dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.

(5) Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.

(6) Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.

9. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9

(1) Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.

(2) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.

(2a) Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

(2b) Atas pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

(3) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.

(3a) Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(4) Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

10. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10

(1) Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(1a) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(2) Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

11. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11
(1)

Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 17B, Pasal 17C, atau Pasal 17D dikembalikan, dengan ketentuan bahwa apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.
(1a)

Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, dan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, serta Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan ketentuan jika ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut.

(2)

Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), atau sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C atau Pasal 17D, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, atau sejak diterimanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
(3)

Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu) bulan, Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir sampai dengan saat dilakukan pengembalian kelebihan.
(4)

Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

12.

Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12
(1)

Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.

(2)

Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3)

Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.

13.

Ketentuan Pasal 13 diubah, dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (6) sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13
(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
1. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
2. apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
3. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
4. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau
5. apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).

(2)

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
(3) Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar:
1. 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak;
2. 100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau
3. 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
(4)

Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.
(5)

Walaupun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, apabila Wajib Pajak setelah jangka waktu tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(6)

Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

14.

Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 13A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13A

Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
15.

Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
2. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
3. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
4. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
5. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain:
1. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau
2. identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
6. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak; atau
7. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.

(2)

Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak.
(3)

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
(4)

Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, atau huruf f masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
(5)

Terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung dari tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(6)

Tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

16.

Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15
(1)

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.

(2)

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(3)

Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
(4)

Apabila jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(5)

Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

17.

Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16
(1)

Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

(2)

Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)

Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah lewat, tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pembetulan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
(4)

Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

18.

Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17
(1)

Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.

(2)

Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(3)

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan.

19.

Ketentuan Pasal 17A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17A
(1)

Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak.

(2)

Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Nihil diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

20.

Ketentuan Pasal 17B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17B
(1)

Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
(1a)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(2)

Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
(3)

Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(4)

Apabila pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) tidak dilanjutkan dengan penyidikan; dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan; atau dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

21.

Ketentuan Pasal 17C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17C
(1)

Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.

(2)
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
1. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
2. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
3. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan
4. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
(3)

Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(4)

Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
(5)

Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
(6) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila:
1. terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
2. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut;
3. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender; atau
4. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
(7)

Tata cara penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

22.

Di antara Pasal 17C dan Pasal 18 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 17D dan Pasal 17E yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17D
(1)

Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.

(2)
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu;
3. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu; atau
4. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.
(3)

Batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4)

Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
(5)

Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen).

Pasal 17E

Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan pembelian Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean dapat diberikan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
23.

Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18
(1)

Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.

(2)

Dihapus.

24.

Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19
(1)

Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

(2)

Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(3)

Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

25.

Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20
(1)

Atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

(2)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penagihan seketika dan sekaligus dilakukan apabila:
1. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
2. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
3. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha atau menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
4. badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
5. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
(3)

Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

26.

Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21
(1)

Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.

(2)

Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
(3) Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
1. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
2. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
3. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
(3a)

Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.
(4)

Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
(5) Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut:
1. dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau
2. dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan.
27.

Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22
(1)

Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.

(2)
Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
1. diterbitkan Surat Paksa;
2. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
3. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau
4. dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
28.

Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23
(1)

Dihapus.

(2)
Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
1. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
2. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
3. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
4. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
(3)

Dihapus.

29.

Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24

Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
30.

Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
3. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
5. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

(2)

Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.
(3)

Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(3a)

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
(4)

Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
(5)

Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
(6)

Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak.
(7)

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
(8)

Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
(9)

Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
(10)

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dikenakan.

31.

Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26
(1)

Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.

(2)

Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
(3)

Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.
(4)

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d, Wajib Pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
(5)

Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

32.

Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 26A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26A
(1)

Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(2)

Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain, mengatur tentang pemberian hak kepada Wajib Pajak untuk hadir memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya.
(3)

Apabila Wajib Pajak tidak menggunakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), proses keberatan tetap dapat diselesaikan.
(4)

Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.

33.

Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27
(1)

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1).

(2)

Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara.
(3)

Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
(4)

Dihapus.
(4a)

Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan.
(5)

Dihapus.
(5a)

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
(5b)

Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
(5c)

Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.
(5d)

Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
(6)

Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 23 ayat (2) diatur dengan undang-undang.

34.

Ketentuan Pasal 27A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27A
(1) Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali; atau
2. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
(1a) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya menyebabkan kelebihan pembayaran pajak dengan ketentuan sebagai berikut:
1. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;
2. untuk Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; atau
3. untuk Surat Tagihan Pajak dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.

(2)

Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dan/atau bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berdasarkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.
(3)

Tata cara penghitungan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan pemberian imbalan bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

35.

Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28
(1)

Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.

(2)

Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
(3)

Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
(4)

Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
(5)

Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
(6)

Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
(7)

Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
(8)

Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
(9)

Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
(10)

Dihapus.
(11)

Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.
(12)

Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

36.

Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29
(1)

Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

(2)

Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa.
(3) Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
1. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
2. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
3. memberikan keterangan lain yang diperlukan.
(3a)

Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan.
(3b)

Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak tersebut dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(4)

Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

37.

Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 29A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29A
Terhadap Wajib Pajak badan yang pernyataan pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan efektif oleh badan pengawas pasar modal dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan dilampiri Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian yang:
1. Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B; atau
2. terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko
dapat dilakukan pemeriksaan melalui Pemeriksaan Kantor.

38.

Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30
(1)

Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b.

(2)

Tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

39.

Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31
(1)

Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(2)

Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
(3)

Apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) sehingga penghitungan penghasilan kena pajak dilakukan secara jabatan, Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.

40.

Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32
(1) Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal:
1. badan oleh pengurus;
2. badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
3. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
4. badan dalam likuidasi oleh likuidator;
5. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
6. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.

(2)

Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.
(3)

Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3a)

Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(4)

Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.

41.

Ketentuan Pasal 33 dihapus.

Pasal 33

Dihapus.
42.

Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34
(1)

Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

(2)

Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
1. pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau
2. pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.
(3)

Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) supaya memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
(4)

Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(5)

Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.

43.

Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35
(1)

Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta.

(2)

Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
(3)

Tata cara permintaan keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terikat oleh kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

44.

Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35A
(1)

Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).

(2)

Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).

45.

Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36
(1) Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
1. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
2. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
3. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau
4. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
(1a)

Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali.
(1b)

Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak 1 (satu) kali.
(1c)

Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan.
(1d)

Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1c) telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan.
(1e)

Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1c).

(2)

Ketentuan pelaksanaan ayat (1), ayat (1a), ayat (1b), ayat (1c), ayat (1d), dan ayat (1e) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

46.

Ketentuan Pasal 36A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36A
(1)

Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2)

Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar kewenangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenang melakukan pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti melakukannya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)

Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
(4)

Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya.
(5)

Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

47.

Di antara Pasal 36A dan Pasal 37 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 36B, Pasal 36C, dan Pasal 36D yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36B
(1)

Menteri Keuangan berkewajiban untuk membuat kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak.

(2)

Pegawai Direktorat Jenderal Pajak wajib mematuhi kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
(3)

Pengawasan pelaksanaan dan penampungan pengaduan pelanggaran kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak dilaksanakan oleh Komite Kode Etik yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 36C

Menteri Keuangan membentuk komite pengawas perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 36D
(1)

Direktorat Jenderal Pajak dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.

(2)

Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(3)

Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

48.

Di antara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 37A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37A
(1)

Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(2)

Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar.

49.

Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38
Setiap orang yang karena kealpaannya:
1. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
2. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
50.

Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
1. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
2. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
3. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
4. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
5. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
6. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
7. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
8. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
9. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

(2)

Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
(3)

Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

51.

Di antara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 39A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39A
Setiap orang yang dengan sengaja:
1. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
2. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
52.

Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41
(1)

Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

(2)

Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3)

Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.

53.

Ketentuan Pasal 41A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41A

Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
54.

Ketentuan Pasal 41B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41B

Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
55.

Di antara Pasal 41B dan Pasal 42 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 41C yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41C
(1)

Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2)

Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(3)

Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(4)

Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

56.

Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43
(1)

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

(2)

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

57.

Sebelum Pasal 44 dalam BAB IX disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43A
(1)

Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

(2)

Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yang menyangkut petugas Direktorat Jenderal Pajak, Menteri Keuangan dapat menugasi unit pemeriksa internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan.
(3)

Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum Tindak Pidana Korupsi.
(4)

Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

58.

Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44
(1)

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.

(2)
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
1. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
2. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
4. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
5. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
7. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
8. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
9. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
10. menghentikan penyidikan; dan/atau
11. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)

Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(4)

Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.

59.

Ketentuan Pasal 44B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44B
(1)

Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.

(2)

Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.

Pasal II

1.

Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2007 yang belum diselesaikan, diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.
2.

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, daluwarsa penetapan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, selain penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau Pasal 15 ayat (4), berakhir paling lama pada akhir Tahun Pajak 2013.
3.

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 85

PENJELASAN
ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2007

TENTANG

PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983
TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

I. UMUM

1. Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan. Undang-Undang ini memuat ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang pada prinsipnya diberlakukan bagi undang-undang pajak material, kecuali dalam undang-undang pajak yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakannya.
2. Sejalan dengan perkembangan ekonomi, teknologi informasi, sosial, dan politik, disadari bahwa perlu dilakukan perubahan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Perubahan tersebut bertujuan untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta mengantisipasi kemajuan di bidang teknologi informasi dan perubahan ketentuan material di bidang perpajakan. Selain itu, perubahan tersebut juga dimaksudkan untuk meningkatkan profesionalisme aparatur perpajakan, meningkatkan keterbukaan administrasi perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak.
3. Sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan yang sederhana menjadi ciri dan corak dalam perubahan Undang-Undang ini dengan tetap menganut sistem self assessment. Perubahan tersebut khususnya berkaitan dengan peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban bagi masyarakat Wajib Pajak sehingga masyarakat Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan lebih baik.
4. Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, arah dan tujuan perubahan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ini mengacu pada kebijakan pokok sebagai berikut:

1. meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka mendukung penerimaan negara;
2. meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat guna meningkatkan daya saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah;
3. menyesuaikan tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta perkembangan di bidang teknologi informasi;
4. meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban;
5. menyederhanakan prosedur administrasi perpajakan;
6. meningkatkan penerapan prinsip self assessment secara akuntabel dan konsisten;dan
7. mendukung iklim usaha ke arah yang lebih kondusif dan kompetitif.

Dengan dilaksanakannya kebijakan pokok tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dalam jangka menengah dan panjang seiring dengan meningkatnya kepatuhan sukarela dan membaiknya iklim usaha.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.

Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)

Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.

Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.

Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.

Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.

Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Oleh karena itu, kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajaka

Ayat (2)

Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan, sedangkan bagi Pengusaha badan berkewajiban melaporkan usahanya tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan.

Dengan demikian, Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.

Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta untuk pengawasan administrasi perpajakan.

Terhadap Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Ayat (3)

Terhadap Wajib Pajak maupun Pengusaha Kena Pajak tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kantor Direktorat Jenderal Pajak selain yang ditentukan pada ayat (1) dan ayat sebagai tempat pendaftaran untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Seiain itu, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, di samping wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan.

Ayat (4)

Terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Hal ini dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiiiki oleh Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Ayat (4a)

Ayat ini mengatur bahwa dalam penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan harus memperhatikan saat terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif dari Wajib Pajak yang bersangkutan. Selanjutnya terhadap Wajib Pajak tersebut tidak dikecualikan dari pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak maupun Pemerintah berkaitan dengan kewajiban Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri dan hak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya terhadap Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan pada tahun 2008 dan ternyata Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan terhitung sejak tahun 2005, kewajiban perpajakannya timbul terhitung sejak tahun 2005.

Ayat (5)

Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan kewajiban melaporkan usaha untuk memperoleh pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dibatasi jangka waktunya karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban mengenakan pajak terutang. Pengaturan tentang jangka waktu pendaftaran dan pelaporan tersebut, tata cara pemberian dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Ayat (7)
Cukup jelas.

Ayat (8)
Cukup jelas.

Ayat (9)
Cukup Jelas.

Angka 3
Pasal 2A
Cukup jelas

Angka 4
Pasal 3

Ayat (1)

Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

1. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
2. penghasiian yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
3. harta dan kewajiban; dan/atau
4. pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

1. pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan
2. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.

Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi formulir Surat Pemberitahuan, dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi Surat Pemberitahuan adalah:

1. benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
2. lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan; dan
3. jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan

Surat Pemberitahuan yang telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas tersebut wajib disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan oleh pemotong atau pemungut pajak dilakukan untuk setiap Masa Pajak.

Ayat (1a)
Cukup jelas.

Ayat (1b)
Cukup jelas.

Ayat (2)

Dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan kepada Wajib Pajak, formulir Surat Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor Direktorat Jenderal Pajak dan tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak yang diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak. Di samping itu, Wajib Pajak juga dapat mengambil Surat Pemberitahuan dengan cara lain, misalnya dengan mengakses situs Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh formulir Surat Pemberitahuan tersebut.

Namun, untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, Direktur Jenderal Pajak dapat mengirimkan Surat Pemberitahuan kepada Wajib Pajak.

Ayat (3)

Ayat ini mengatur tentang batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan yang dianggap cukup memadai bagi Wajib Pajak untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembayaran pajak dan penyelesaian pembukuannya.

Ayat (3a)

Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, antara lain Wajib Pajak usaha kecil, dapat:

1. menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran seluruh pajak yang wajib dilunasi menurut Surat Pemberitahuan Masa tersebut dilakukan sekaligus paling lama dalam Masa Pajak yang terakhir; dan/atau
2. menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selain yang disebut pada huruf a untuk beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran untuk masing-masing Masa Pajak dilakukan sesuai batas waktu untuk Masa Pajak yang bersangkutan.

Ayat (3b)
Cukup Jelas.

Ayat (3c)
Cukup jelas.

Ayat (4)

Apabila Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan ternyata tidak dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan pada ayat (3) huruf b, atau huruf c karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan keuangan, atau sebab lainnya sehingga sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan, Wajib Pajak dapat memperpanjang penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain misalnya dengan Pemberitahuan secara elektronik kepada Direktur Jenderal PaJak.

Ayat (5)

Untuk mencegah usaha penghindaran dan/atau perpanjangan waktu pembayaran pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang harus dibayar sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, perlu ditetapkan persyaratan yang berakibat pengenaan sanksi administrasi berupa bunga bagi Wajib Pajak yang ingin memperpanjang waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Persyaratan tersebut berupa keharusan menyampaikan pemberitahuan sementara denganmenyebutkan besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan penghitungan sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan, sebagai lampiran pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Ayat (5a)

Dalam rangka pembinaan terhadap Wajib Pajak yang sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan ternyata tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dapat diberikan Surat Teguran.

Ayat (6)

Mengingat fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib Pajak, antara lain untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak dan pembayarannya, dalam rangka keseragaman dan mempermudah pengisian serta pengadministrasiannya, bentuk dan isi Surat Pemberitahuan, keterangan dokumen yang harus dilampirkan dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sekurang-kurangnya memuat jumlah peredaran, Jumlah penghasilan, jumlah Penghasilan Kena Pajak, jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan atau kelebihan pajak, serta harta dan kewajiban di luar kegiatan usaha atau pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak orang pribadi. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.

Ayat (7)

Surat Pemberitahuan yang ditandatangani beserta lampirannya adalah satu kesatuan yang merupakan unsur keabsahan Surat Pemberitahuan. Oleh karena itu, Surat Pemberitahuan dari Wajib Pajak yang disampaikan, tetapi tidak dilengkapi dengan lampiran yang dipersyaratkan, tidak dianggap sebagai Surat Pemberitahuan dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal demikian, Surat Pemberitahuan tersebut dianggap sebagai data perpajakan.

Demikian juga apabila penyampaian Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebin bayar telah melewati 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis, atau apabila Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak, Surat Pemberitahuan tersebut dianggap sebagai data perpajakan.

Ayat (7a)
Cukup jelas.

Ayat (8)

Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak Pajak Penghasilan diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan. Dengan pertimbangan efisiensi atau pertimbangan lainnya, Menteri Keuangan dapat menetapkan Wajib Pajak Pajak Penghasilan yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan, misalnya Wajib Pajak orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak, tetapi karena kepentingan tertentu diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

Angka 5
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (4a)

Yang dimaksud dengan Laporan Keuangan masing-masing Wajib Pajak adalah laporan keuangan hasil kegiatan usaha masing-masing Wajib Pajak.

Contoh:

PT A memiliki saham pada PT B dan PT C. Dalam contoh tersebut, PT A mempunyai kewajiban melampirkan laporan keuangan konsolidasi PT A dan anak perusahaan, juga melampirkan laporan keuangan atas usaha PT A (sebelum dikonsolidasi), sedangkan PT B dan PT C wajib melampirkan laporan keuangan masing-masing, bukan laporan keuangan konsolidasi.

Ayat (4b)
Cukup Jelas.

Ayat (5)

Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan memuat hal-hal mengenai, antara lain, penelitian kelengkapan, pemberian tanda terima, pengelompokan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar, Kurang Bayar, dan Nihil, prosedur perekaman dan tindak lanjut pengelolaannya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Angka 6
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)

Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, perlu cara lain bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuannya, misalnya disampaikan secara elektronik.

Ayat (3)

Tanda bukti dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan melalui pos atau dengan cara lain merupakan bukti penerimaan, apabila Surat Pemberitahuan dimaksud telah lengkap, yaitu memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6).

Angka 7
Pasal 7

Ayat (1)

Maksud pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur pada ayat ini adalah untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan.

Ayat (2)

Bencana adalah bencana nasional atau bencana yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Angka 8
Pasal 8

Ayat (1)

Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan “mulai melakukan tindakan pemeriksaan” adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.

Ayat (1a)

Yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah Jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat(1).

Ayat (2)

Dengan adanya pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan atas kemauan sendiri membawa akibat penghitungan jumlah pajak yang terutang dan jumlah penghitungan pembayaran pajak menjadi berubah dari jumlah semula.

Atas kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan tersebut dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan.

Bunga yang terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Yang dimaksud dengan “1 (satu) bulan” adalah Jumlah hari dalam bulan kalender yang bersangkutan, misalnya mulai dari tanggal 22 Juni sampai dengan 21 Juli, sedangkan yang dimaksud dengan “bagian dari bulan” adalah jumlah hari yang tidak mencapai 1 (satu) bulan penuh, misalnya 22 Juni sampai dengan 5 Juli.

Ayat (2a)
Cukup jelas.

Ayat (3)

Wajib Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 selama belum dilakukan penyidikan, sekalipun telah dilakukan pemeriksaan dan Wajib Pajak telah mengungkapkan kesalahannya dan sekaligus melunasi jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar, terhadapnya tidak akan dilakukan penyidikan.

Namun, apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan tersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum, kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sudah tertutup bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.

Ayat (4)

Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan tetapi belum menerbitkan surat ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang belum membetulkan Surat Pemberitahuan masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan Masa untuk tahun atau masa yang diperiksa. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan dalam laporan tersendiri dan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya sehingga dapat diketahui jumlah pajak yang sesungguhnya terutang. Namun, untuk membuktikan kebenaran laporan Wajib Pajak tersebut, proses pemeriksaan tetap dilanjutkan sampai selesai.

Ayat (5)

Atas kekurangan pajak sebagai akibat adanya pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, dan harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan pengungkapan tersendiri disampaikan. Namun, pemeriksaan tetap dilanjutkan. Apabila dari hasil pemeriksaan terbukti bahwa laporan pengungkapan ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, atas ketidakbenaran pengungkapan tersebut dapat diterbitkan surat ketetapan pajak.

Ayat (6)

Sehubungan dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas suatu Tahun Pajak yang mengakibatkan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tahun berikutnya atau tahun-tahun berikutnya, akan dilakukan penyesuaian rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penghitungan Pajak Penghasilan tahun-tahun berikutnya, pembatasan jangka waktu 3 (tiga) bulan tersebut dimaksudkan untuk tertib administrasi tanpa menghilangkan hak Wajib Pajak atas kompensasi kerugian.

Dalam hal Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan lewat Jangka waktu 3 (tiga) bulan atau Wajib Pajak tidak mengajukan pembetulan sebagai akibat adanya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, Direktur Jenderal Pajak akan memperhitungkannya dalam menetapkan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Untuk Jeiasnya diberikan contoh sebagai berikut:

Contoh 1:

PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun 2008 yang menyatakan:

Penghasilan Neto sebesar Rp 200.000.000,00
Kompensasi kerugian berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 sebesar Rp 150.000.000,00 (-)

Penghasilan Kena Pajak sebesar
Rp 50.000.000,00

Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 dilakukan pemeriksaan, dan pada tanggal 6 Januari 2010 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp 70.000.000,00 Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah perhitungan Penghasilan Kena PaJak tahun 2008 menjadi sebagai berikut:

Penghasilan Neto Rp 200.000.000,00
Rugi menurut ketetapan pajak
tahun 2007 Rp 70.000.000.00 (-)

Penghasilan Kena Pajak Rp 130.000.000,00

Dengan demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp50.000.000,00 (Rp200.000.000,00 – Rp150.000.000,00) setelah pembetulan menjadi Rp130.000.000,00 (Rp200.000.000,00 – Rp70.000.000,00)

Contoh 2:

PT B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2008 yang menyatakan:

Penghasilan Neto sebesar Rp 300.000.000,00
Kompensasi kerugian berdasarkan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Tahun 2007 sebesar Rp 200.000.000.00 (-)

Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 100.000.000,00

Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 dilakukan pemeriksaan dan pada tanggal 6 Januari 2010 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp 250.000.000,00.

Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Pajak akan mengubah perhitungan Penghasilan Kena Pajak tahun 2008 menjadi sebagai berikut:

Penghasilan Neto Rp 300.000.000,00
Rugi menurut ketetapan pajak
tahun 2007 Rp 250.000.000.00 (-)

Penghasilan Kena Pajak Rp 50.000.000,00

Dengan demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp 100.000.000,00 (Rp 300.000.000,00 – Rp 200.000.000,00) setelah pembetulan menjadi Rp 50.000.000,00 (Rp 300.000.000,00 – Rp 250.000.000,00).

Angka 9
Pasal 9
Ayat (1)

Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melampaui 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. Keterlambatan dalam pembayaran dan penyetoran tersebut berakibat dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (2a)

Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak. Untuk jelasnya cara penghitungan bunga tersebut diberikan contoh sebagai berikut:

Angsuran masa Pajak Penghasilan Pasal 25 PT A tahun 2008 sejumlah Rp10.000.000,00 per bulan. Angsuran masa Mei tahun 2008 dibayar tanggal 18 Juni 2008 dan dilaporkan tanggai 19 Juni 2008. Apabiia pada tanggal 15 Juli 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi bunga dalam Surat Tagihan Pajak dihitung 1 (satu) bulan sebagai berikut:

1 x2% x Rp 10.000.000,00 = Rp 200.000.00.

Ayat (2b)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (3a)
Cukup jelas.

Ayat (4)

Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang terutang termasuk kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat PemberitahuanTahunan Pajak Penghasilan meskipun tanggal Jatuh tempo pembayaran telah ditentukan.

Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati untuk paling lama 12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada Wajib Pajak yang benar-benar sedang mengalami kesulitan likuiditas.

Angka 10
Pasal 10

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (1a)
Cukup jelas.

Ayat (2)

Adanya tata cara pembayaran pajak, penyetoran pajak, dan pelaporannya, serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan diharapkan dapat mempermudah pelaksanaan pembayaran pajak dan administrasinya.

Angka 11
Pasal 11

Ayat (1)

Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai utang pajak.

Dalam hal Wajib PaJak masih mempunyai utang pajak yang meliputi semua jenis pajak baik di pusat maupun cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan lebih dahulu dengan utang pajak tersebut dan jika masih terdapat sisa lebih, dikembalikan kepada Wajib Pajak.

Ayat (1a)
Cukup jelas

Ayat (2)

Untuk menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan:

1. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasai 17 ayat (1), dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tertulis tentang pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
2. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, dihitung sejak tanggal penerbitan;
3. untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D, dihitung sejak tanggal penerbitan;
4. untuk Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, dihitung sejak tanggal penerbitan;
5. untuk Putusan Banding dihitung sejak diterimanya Putusan Banding oleh Kantor Direktorat Jenderai Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan; atau
6. untuk Putusan Peninjauan Kembali dihitung sejak diterimanya Putusan Peninjauan Kembali oleh Kantor Direktorat Jenderai Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.

Ayat (3)

Untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban bagi Wajib Pajak melalui pelayanan yang lebih baik, diatur bahwa setiap keterlambatan dalam pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak yang bersangkutan diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.

Ayat (4)
Cukup jelas

Angka 12
Pasal 12

Ayat (1)

Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:

1. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
2. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; atau
3. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.

Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10

ayat (1).

Berdasarkan Undang-Undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat Pembehtahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.

Ayat (2)

Ketentuan ini mengatur bahwa kepada Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak atau pun Surat Tagihan Pajak.

Ayat (3)

Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Angka 13
Pasal 13

Ayat (1)

Ketentuan ayat ini memberi wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, yang pada hakikatnya hanya terhadap kasus-kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat ini. Dengan demikian, hanya terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material. Keterangan lain tersebut adalah data konkret yang diperoieh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, antara lain berupa hasil konfirmasi faktur pajak dan bukti pemotongan Pajak Penghasilan. Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan koreksi fiskal tersebut dibatasi sampai dengan kurun waktu 5 (lima) tahun.

Menurut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar baru diterbitkan jika Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Diketahuinya Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar dari jumlah pajak yang seharusnya terutang.

Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri, dari data tersebut dapat dipastikan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak sebagaimana mestinya. Untuk memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan.

Surat Pemberitahuan yang tidak disampaikan pada waktunya walaupun telah ditegur secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b membawa akibat Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar secara Jabatan. Terhadap ketetapan seperti ini dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Teguran, antara lain, dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Wajib Pajak yang beritikad baik untuk menyampaikan alasan atau sebab-sebab tidak dapat disampaikannya Surat Pemberitahuan karena sesuatu hal di luar kemampuannya (force majeur).

Bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, yang mengakibatkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan kenaikan sebesar 100% (seratus person).

Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau pada saat diperiksa tidak memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 sehingga Direktur Jenderal Pajak tidak dapat menghitung jumlah pajak yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan secara jabatan, yaitu penghitungan pajak didasarkan pada data yang tidak hanya diperoleh dari Wajib Pajak saja.

Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak dibebankan kepada Wajib Pajak. Sebagai contoh:

1. pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak lengkap sehingga penghitungan laba rugi atau peredaran tidak jelas;
2. dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka dalam pembukuan tidak dapat diuji; atau
3. dari rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang diketahui besar dugaan disembunyikannya dokumen atau data pendukung lain di suatu tempat tertentu sehingga dari sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan iktikad baiknya untuk membantu kelancaran jalannya pemeriksaan.

Beban pembuktian tersebut berlaku juga bagi ketetapan yang diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.

Ayat (2)

Ayat ini mengatur sanksi administrasi perpajakan yang dikenakan kepada Wajib Pajak karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e. Sanksi administrasi perpajakan tersebut berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dicantumkan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

Sanksi administrasi berupa bunga, dihitung dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.

Walaupun Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut diterbitkan lebih dari 2 (dua) tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak, bunga dikenakan atas kekurangan tersebut hanya untuk masa 2 (dua) tahun.

Contoh:

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan.

Wajib Pajak PT A mempunyai penghasilan kena pajak selama Tahun Pajak 2006 sebesar Rp100.000.000,00 dan menyampaikan Surat Pemberitahuan tepat waktu. Pada bulan April 2009 berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar maka sanksi bunga dihitung sebagai berikut:
1. Penghasilan Kena Pajak Rp 100.000.000,00
2. Pajak yang terutang
(30% x Rp100.000.000,00) Rp 30.000.000,00
3. Kredit pajak Rp 10.000.000.00 (-)

4.
Pajak yang kurang dibayar
Rp 20.000.000,00
5. Bunga 24 bulan
(24 x 2% x Rp 20.000.000,00) Rp 9.600.000,00 (+)
6.
Jumlah pajak yang masih
harus dibayar Rp 29.600.000,00

Dalam hal pengusaha tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, selain harus menyetor pajak yang terutang, pengusaha tersebut juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari pajak yang kurang dibayar yang dihitung sejak berakhirnya Masa Pajak untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

Ayat (3)

Ayat ini mengatur sanksi administrasi dari suatu ketetapan pajak karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. Sanksi administrasi berupa kenaikan merupakan suatu jumlah proporsional yang harus ditambahkan pada pokok pajak yang kurang dibayar.

Besarnya sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda-beda menurut jenis pajaknya, yaitu untuk jenis Pajak Penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen), untuk jenis Pajak Penghasilan yang dipotong oleh orang atau badan lain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen), sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen).

Ayat (4)

Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak berkenaan dengan pelaksanaan pemungutan pajak dengan sistem self assessment, apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat ketetapan pajak, jumlah pembayaran pajak yang diberitahukan dalam Surat Pemberitahuan Masa atau Surat Pemberitahuan Tahunan pada hakikatnya telah menjadi tetap dengan sendirinya atau telah menjadi pasti karena hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Ayat (5)

Apabila terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, untuk menentukan kerugian pada pendapatan negara, atas jumlah pajak yang terutang belum dikeluarkan surat ketetapan pajak.

Untuk mengetahui bahwa Wajib Pajak memang benar-benar melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, harus dibuktikan melalui proses pengadilan yang dapat membutuhkan waktu lebih dari 5 (lima) tahun. Kemungkinan dapat terjadi bahwa Wajib Pajak yang disidik oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, tetapi oleh penuntut umum tidak dituntut berdasarkan sanksi pidana perpajakan, misalnya Wajib Pajak yang dijatuhi pidana oleh pengadilan karena melakukan penyelundupan yang dalam putusan pengadiian tersebut menunjukkan adanya suatu jumlah objek pajak yang belum dikenai pajak.

Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh kembali pajak yang terutang tersebut, dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan Pengadiian yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar masih dibenarkan untuk diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar meskipun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Angka 14
Pasal 13A

Pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Namun, bagi Wajib Pajak yang melanggar pertama kali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi.

Oleh karena itu, Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan Wajib Pajak. Dalam hal ini, Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.

Angka 15
Pasal 14

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)

Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini disamakan kekuatan hukumnyadengan surat ketetapan pajak sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.

Ayat (3)

Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga atas Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan karena:

1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; atau
2. penelitian Surat Pemberitahuan yang menghasilkan pajak kurang dibayar karena terdapat salah tulis dan/atau salah hitung.

Untuk jelasnya diberikan contoh cara penghitungan sebagai berikut:

1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar. Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2008 setiap bulan sebesar Rp 100.000.000,00 jatuh tempo misalnya tiap tanggal 15 Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan Juni 2008 dibayar tepat waktu sebesar Rp 40.000.000,00.

Atas kekurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 18 September 2008 dengan penghitungan sebagai berikut :
– Kekurangan bayar Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan Juni 2008
(Rp100.000.000,00-Rp 40.000.000,00) = Rp 60.000.000,00
– Bunga = 3 x 2% x Rp 60.000.000,00 = Rp 3.600.000,00 (+)
– Jumlah yang harus dibayar = Rp 63.600.000,00

2. Hasil penelitian Surat Pemberitahuan

Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2008 yang disampaikan pada tanggal 31 Maret 2009 setelah dilakukan penelitian ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan Pajak Penghasilan kurang bayar sebesar Rp1.000.000,00. Atas kekurangan Pajak Penghasilan tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 12 Juni 2009 dengan penghitungan sebagai berikut:

– Kekurangan bayar Pajak Penghasilan = Rp1.000.000,00
– Bunga = 3 x 2%x Rp1.000.000,00 = Rp 60.000.00 (+)
– Jumlah yang harus dibayar = Rp 1.060.000,00

Ayat (4)

Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat faktur pajak maupun Pengusaha Kena Pajak yang membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak selengkapnya mengisi faktur pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

Demikian pula bagi Pengusaha Kena Pajak yang membuat faktur pajak, tetapi melaporkannya tidak tepat waktu, dikenai sanksi yang sama. Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak ditagih dengan Surat Tagihan Pajak, sedangkan pajak yang terutang ditagih dengan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Angka 16
Pasal 15

Ayat (1)

Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam Jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi atas surat ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak. Pada prinsipnya untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu dilakukan pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, perlu dilakukan pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Dalam hal surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan juga harus diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, tetapi bukan pemeriksaan ulang.

Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan surat ketetapan pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat adanya data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu, setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data baru termasuk data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.

Yang dimaksud dengan “data baru” adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.

Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang:
a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau
b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.

Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya Jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.

Contoh:

1. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya ikian Rp 10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp5.000.000.00 biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000.00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang semula belum terungkap.
2.

Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data tersebut termasuk data yang semula belum terungkap.
3.

Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan faktur pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli.

Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahanmengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum terungkap.

Ayat (2)

Dalam hal setelah diterbitkan surat ketetapan pajak ternyata masih ditemukan data baru termasuk data yang belum terungkap yang belum diperhitungkan sebagai dasar penetapan tersebut, atas pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang kurang dibayar.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)

Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berupa pajak berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar meskipun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Angka 17
Pasal 16

Ayat (1)

Pembetulan menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan WajibPajak. Apabila ditemukan kesalahan atau kekeliruan baik oleh fiskus maupun berdasarkan permohonan Wajib Pajak, kesalahan atau kekeliruan tersebut harus dibetulkan. Yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan adalah sebagai berikut:

1. surat ketetapan pajak, yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
2. Surat Tagihan Pajak;
3. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
4. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;
5. Surat Keputusan Pembetulan;
6. Surat Keputusan Keberatan;
7. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
8. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
9. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; atau
10. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.

Ruang Lingkup pembetulan yang diatur pada ayat ini terbatas pada kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari:

1. kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo;
2. kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan; atau
3. kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan pajak.

Pengertian “membetulkan” pada ayat ini, antara lain, menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya.

Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan.

Ayat (2)

Untuk memberikan kepastian hukum, permohonan pembetulan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diputuskan dalam batas waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonan diterima.

Ayat (3)

Dalam hal batas waktu 6 (enam) bulan terlampaui, tetapi Direktur Jenderal Pajak belum memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan.

Dengan dianggap dikabulkannya permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Angka 18
Pasal 17

Ayat (1)

Menurut ketentuan ayat ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan untuk:

1. Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang;
2. Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau
3. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

Apabila Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib mengajukan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Angka 19
Pasal 17A

Ayat (1)

Menurut ketentuan ayat ini, Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan untuk:

1. Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
2. Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah paJak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau
3. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Angka 20
Pasal 17B

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “surat permohonan telah diterima secara lengkap” adalah Surat Pemberitahuan yang telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

Ayat (1a)

Yang dimaksud dengan “sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan” adalah dimulai sejak surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.

Ayat (2)

Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak sehingga bila batas waktu tersebut dilampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain itu, batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan.

Ayat (3)

Jika Direktur Jenderal Pajak terlambat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan, dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Angka 21
Pasal 17C

Ayat (1)

Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu setelah dilakukan penelitian harus diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama:
a. 3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan
b. 1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai

sejak permohonan di terima secara lengkap, dalam arti bahwa Surat Pemberitahuan telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6). Permohonan dapat disampaikan dengan cara mengisi kolom dalam Surat Pemberitahuan atau dengan surat tersendiri. Pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan setelah Direktur Jenderal Pajak mefakukan konfirmasi kebenaran kredit pajak.

Ayat (2)

Termasuk dalam pengertian kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 3 (tiga) tahun terakhir;
b. dalam Tahun Pajak terakhir, penyampaian Surat Pemberitahuan Masa untuk Masa Pajak Januari sampai dengan November yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; dan
c. Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya.
Bahwa Wajib Pajak tidak mempunyai tunggakan pajak adalah keadaan pada tanggal 31 Desember. Utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan tidak termasuk dalam pengertian tunggakan pajak.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Surat ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

Ayat (5)

Untuk mendorong Wajib Pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, maka apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.

Untuk jelasnya cara penghitungan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan pengenaan sanksi administrasi berupa kenaikan tersebut diberikan contoh sebagai berikut:

1) Pajak Penghasilan

– Wajib Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar Rp 80.000.000,00.
– Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp100.000.000,00
b. Kredit pajak, yaitu:
– Pajak Penghasilan Pasal 22
– Pajak Penghasilan Pasal 23
– Pajak Penghasilan Pasal 25 Rp20.000.000,00
Rp40.000.000,00
Rp90.000.000,00

Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan sebagai berikut:

– Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp 100.000.000,00
– Kredit Pajak:
– Pajak Penghasilan Pasal 22 Rp 20.000.000,00
– Pajak Penghasilan Pasal 23 Rp 40.000.000,00
– Pajak Penghasilan Pasal 25 Rp 90.000.000.00 (+)
Rp 150.000.000,00
– Jumlah Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak Rp 80.000.000.00 (-)
– Jumlah pajak yang dapat dikreditkan
Rp 70.000.000.00 (-)
– Pajak yang tidak/kurang dibayar Rp 30.000.000,00
Sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% Rp 30.000.000.00 (+)
Jumlah yang masih harus dibayar Rp 60.000.000,00

2) Pajak Pertambahan Nilai

– Pengusaha Kena Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar Rp 60.000.000,00.
– Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Pajak Keluaran Rp 100.000.000,00
b. Kredit pajak, yaitu Pajak Masukan Rp 150.000.000,00

Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan sebagai berikut:
– Pajak Keluaran Rp 100.000.000,00
– Kredit Pajak:
– Pajak Masukan Rp 150.000.000,00
– Jumlah Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak Rp 60.000.000.00 (+)
– Jumlah pajak yang dapat dikreditkan Rp 90.000.000.00 (-)
– Pajak yang kurang dibayar Rp 10.000.000,00

– Sanksi administrasi kenaikan 100% Rp 10.000.000.00 (+)
– Jumlah yang masih harus dibayar Rp 20.000.000,00

Ayat (6)
Cukup jelas.

Ayat (7)
Cukup jelas

Angka 22
Pasal 17D

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)

Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Ayat (5)

Untuk memotivasi Wajib Pajak agar melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.

Pasal 17E
Cukup jelas.

Angka 23
Pasal 18

Ayat (1)
Cukup Jelas.

Ayat (2)
Dihapus.

Angka 24
Pasal 19

Ayat (1)

Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga berdasarkan jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tidak atau kurang dibayar pada saatjatuh tempo pelunasan atau terlambat dibayar.

Contoh:

1. Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp 10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2008, dengan batas akhir pelunasan tanggal 6 November 2008. Jumlah pembayaran sampai dengan tanggal 6 November 2008 Rp 6.000.000,00. Pada tanggal 1 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan sebagai berikut:

Pajak yang masih harus dibayar = Rp 10.000.000,00
Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan = Rp 6.000.000.00 (-)
Kurang dibayar = Rp 4.000.000,00
Bunga 1 (satu) bulan
(1 x 2% x Rp4.000.000,00) = Rp 80.000,00

2. Dalam hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana tersebut pada huruf a, Wajib Pajak membayar Rp10.000.000,00 pada tanggal 3 Desember 2008 dan pada tanggal 5 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi administrasi berupa bunga dihitung sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar = Rp 10.000.000.00
Dibayar setelah jatuh tempo pelunasan = Rp 10.000.000.00
Kurang dibayar = Rp 0,00
Bunga 1 (satu) bulan
(1 x 2% x Rp10.000.000,00) = Rp 200.000,00

Ayat (2)

Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak.

Contoh:

1. Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp 1.120.000.00 yang diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2009 dengan batas akhir pelunasan tanggal 1 Februari 2009. Wajib Pajak tersebut diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu 5 (lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar Rp 224.000,00. Sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap angsuran dihitung sebagai berikut:
angsuran ke-1 : 2% x Rp1.120.000.00 = Rp 22.400,00.
angsuran ke-2 : 2% x Rp 896.000.00 = Rp 17.920,00.
angsuran ke-3 : 2% x Rp 672.000,00 = Rp 13.440,00.
angsuran ke-4 : 2% x Rp 448.000.00 = Rp 8.960.00.
angsuran ke-5 : 2% x Rp 224.000,00 = Rp 4.480,00.

2. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a diperbolehkan untuk menunda pembayaran pajak sampai dengan tanggal 30 Juni 2009.Sanksi administrasi berupa bunga atas penundaan pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar 5 x 2% x Rp1.120.000,00= Rp112.000.00.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Angka 25
Pasal 20

Ayat (1)

Apabila jumlah utang pajak tidak atau kurang dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran atau sampai dengan tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran, atau Wajib Pajak tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak, penagihannya dilaksanakan dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Penagihan pajak dengan Surat Paksa tersebut dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “penagihan seketika dan sekaligus” adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Angka 26
Pasal 21

Ayat (1)

Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (3a)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jeias.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Angka 27
Pasal 22

Ayat (1)

Saat daluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.

Daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak Surat Tagihan Pajak dan surat ketetapan pajak diterbitkan. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, banding atau Peninjauan Kembali, daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.

Ayat (2)

Daluwarsa penagihan pajak dapat melampaui 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila:

1. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan dan memberitahukan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak yang tidak melakukan pembayaran hutang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa tersebut.
2. Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan cara mengajukan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
3. Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang diterbitkan terhadap Wajib Pajak karena Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana lain yang dapat merugikan pendapatan Negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak tersebut.
4. erhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Perintah Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Angka 28
Pasal 23

Ayat (1)
Dihapus.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Dihapus.

Angka 29
Pasal 24

Menteri Keuangan mengatur tata cara penghapusan dan menentukan besarnya jumlah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi, antara lain karena Wajib Pajak telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan, Wajib Pajak badan yang telah selesai proses pailitnya, atau Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai subjek pajak dan hak untuk melakukan penagihan pajak telah daluwarsa. Melalui cara ini dapat diperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang pajak yang akan dapat ditagih atau dicairkan.

Angka 30
Pasal 25

Ayat (1)

Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.

Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari ketetapan pajak, yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau pemotongan atau pemungutan pajak. Yang dimaksud dengan “suatu” pada ayat ini adalah 1 (satu) keberatan harus diajukan terhadap 1 (satu) jenis pajak dan 1 (satu) Masa Pajak atau Tahun Pajak.

Contoh:

Keberatan atas ketetapan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2008 dan Tahun Pajak 2009 harus diajukan masing-masing dalam 1 (satu) surat keberatan tersendiri. Untuk 2 (dua) Tahun Pajak tersebut harus diajukan 2 (dua) buah surat keberatan.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan” adalah alasan-alasan yang jelas dan dilampiri dengan fotokopi surat ketetapan pajak, bukti pemungutan, atau bukti pemotongan.

Ayat (3)

Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan maksud agar Wajib Pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya. Apabila ternyata bahwa batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur), tenggang waktu selama 3 (tiga) bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.

Ayat (3a)

Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak adalah harus melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban perpajakannya yang telah disetujui Wajib Pajak pada saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Pelunasan tersebut harus dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan.

Ayat (4)

Permohonan keberatan yang tidak memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan surat keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan.

Ayat (5)

Tanda penerimaan surat yang telah diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak atau oleh pos berfungsi sebagai tanda terima surat keberatan apabila surat tersebut memenuhi syarat sebagai surat keberatan. Dengan demikian, batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak tanggal penerimaan surat dimaksud. Apabila surat Wajib Pajak tidak memenuhi syarat sebagai surat keberatan dan Wajib Pajak memperbaikinya dalam batas waktu penyampaian surat keberatan, batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak diterima surat berikutnya yang memenuhi syarat sebagai surat keberatan.

Ayat (6)

Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan yang kuat, Wajib Pajak diberi hak untuk meminta dasar pengenaan pajak,penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, Direktur Jenderal Pajak berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut.

Ayat (7)

Ayat ini mengatur bahwa Jatuh tempo pembayaran yang tertera dalam surat ketetapan pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan.

Ayat (8)
Cukup jelas.

Ayat (9)

Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding, jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen).

Contoh:

Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 200.000.000.00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00. Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 19, tetapi dikenai sanksi sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 50% x (Rp750.000.000.00-Rp200.000.000,00) = Rp275.000.000,00.

Ayat (10)
Cukup jelas.

Angka 31
Pasal 26

Ayat (1)

Terhadap surat keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak, kewenangan penyelesaian dalam tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan batasan waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.

Dengan ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan tersebut, berarti akan diperoleh suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain terlaksananya administrasi perpajakan.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)

Ayat ini mengharuskan Wajib Pajak membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan terhadap pajak-pajak yang ditetapkan secara jabatan. Surat ketetapan pajak secara jabatan tersebut diterbitkan karena Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan meskipun telah ditegur secara tertulis, tidak memenuhi kewajiban menyelenggarakan pembukuan, atau menolak untuk memberikan kesempatan kepada pemeriksa memasuki tempat-tempat tertentu yang dipandang perlu, dalam rangka pemeriksaan guna menetapkan besarnya jumlah pajak yang terutang. Apabila Wajib Pajak tidak dapat membuktikan ketidakbenaran surat ketetapan pajak secara jabatan, pengajuan keberatannya ditolak.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Angka 32
Pasal 26A

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)

Agar dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Wajib Pajak untuk memperoleh keadilan dalam penyelesaian keberatannya, dalam tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat ini diatur, antara lain, Wajib Pajak dapat hadir untuk memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya.

Ayat (3)
Cukup Jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Angka 33
Pasal 27

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Dihapus.

Ayat (4a)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Dihapus.

Ayat (5a)

Ayat ini mengatur bahwa bagi Wajib Pajak yang mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak yang diajukan banding tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Penangguhan Jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan.

Ayat (5b)
Cukup jelas.

Ayat (5c)
Cukup jelas.

Ayat (5d)

Dalam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) sebagaimana dimaksud pada ayat ini.

Contoh:

Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 200.000.000,00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp200.000.000,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00.

Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak diputuskan besarnya pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp450.000.000,00. Dalam hal ini baik sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 maupun sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) tidak dikenakan. Namun, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 100% x (Rp450.000.000,00 – Rp200.000.000.00)=Rp250.000.000,00.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Angka 34
Pasal 27A

Ayat (1)

Imbalan bunga diberikan berkenaan dengan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.

Ayat (1a)

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, pengurangan, atau pembatalan atas surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang keputusannya mengabulkan sebagian atau seluruhnya, selama jumlah pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

Ayat (2)

Imbalan bunga juga diberikan terhadap pembayaran lebih Surat Tagihan Pajak yang telah diterbitkan berdasarkan Pasal 14 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (1) sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, yang memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa denda atau bunga.

Pengurangan atau penghapusan yang dimaksud merupakan akibat dari adanya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tersebut, yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Angka 35
Pasal 28

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup Jelas.

Ayat (3)
Cukup Jelas.

Ayat (4)
Cukup jetas.

Ayat (5)

Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan:

1. stelsel pengakuan penghasilan;
2. tahun buku;
3. metode penilaian persediaan; atau
4. metode penyusutan dan amortisasi.

Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai.

Termasuk dalam pengertian stetsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai daiam bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build operate and transfer (BOT) dan real estat.

Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.

Menurut stelsei kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu.

Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stetsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang, jasa, dan biaya operasi lain dibayar.

Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut:
1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembeiian dan persediaan.
2) Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak- hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.
3) Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).

Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan stelsel campuran.

Ayat (6)

Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap, dan metode penilaian persediaan. Namun, perubahan metode pembukuan masih dimungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum dimuiainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut.

Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri, misalnya dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu.

Contoh:

Wajib Pajak da!am tahun 2008 menggunakan metode penyusutan “garis lurus atau straight line method. Jika da!am tahun 2009 Wajib Pajak bermaksud mengubah metode penyusutan aktiva dengan menggunakan metode penyusutan saldo menurun atau declining balance method, Wajib Pajak harus minta persetujuan terlebih dahulu kepada Direktur jenderai Pajak yang diajukan sebelum dimulainya tahun buku 2009 dengan menyebutkan alasan dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari perubahan tersebut.

Selain itu, perubahan periode tahun buku Juga berakibat berubahnya jumlah penghasilan atau kerugian Wajib Pajak. Oleh karena itu, perubahan tersebut juga harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak.

Tahun Pajak adalah sama dengan tahun kalender kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender, penyebutan Tahun Pajak yang bersangkutan menggunakan tahun yang di dalamnya termasuk 6 (enam) bulan pertama atau lebih.

Contoh:

a. Tahun buku 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah Tahun Pajak 2008.
b. Tahun buku 1 Oktober 2008 sampai dengan 30 September 2009 adalah Tahun Pajak 2009.

Ayat (7)

Pengertian pembukuan teiah diatur dalam Pasai 1 angka 29. Pengaturan dalam ayat ini dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.

Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang perpajakan menentukan lain.

Ayat (8)
Cukup jeias.

Ayat (9)

Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatanusaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai penghasitan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak Penghasilan. Di samping itu, pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.

Ayat (10)
Dihapus.

Ayat (11)

Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line dan hasil pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia. Hal itu diimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Penyimpanan buku, Catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.

Ayat (12)
Cukup jelas.

Angka 36
Pasal 29

Ayat (1)

Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan berwenang melakukan pemeriksaan untuk:

1. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak; dan/atau
2. tujuan lain dalam rangka mslaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis pajak, atau seluruh jenis pajak, baik untuk tahun-tahun yang lalu maupun untuk tahun berjalan.

Pemeriksaan dapat dilakukan torhadap Wajib Pajak, termasuk terhadap instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak atau pemotong pajak.

Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak.

Selain itu, pemeriksaan dapat juga dilakukan untuk tujuan lain, di antaranya:

1. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
2. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
3. pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
4. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
5. pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
6. pencocokan data dan/atau alat keterangan;
7. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
8. penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
9. pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
10. penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan; dan/atau
11. pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.

Ayat (2)

Pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang jelas identitasnya. Oleh karena itu, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan, serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. Petugas pemeriksa harus menjelaskan tujuan dilakukannya pemeriksaan kepada Wajib Pajak.

Petugas pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Dalam menjalankan tugasnya, petugas pemeriksa harus bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengertian, sopan, dan objektif serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.

Pendapat dan simpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Petugas pemeriksa harus melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Ayat (3)

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat ini disesuaikan dengan tujuan dilakukannya pemeriksaan baik dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan maupun untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Apabila Wajib Pajak menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan dengan menggunakan proses pengolahan data secara elektronik electronic data processing/EDP), baik yang diselenggarakan sendiri maupun yang diselenggarakan melalui pihak lain, Wajib Pajak harus memberikan akses kepada petugas pemeriksa untuk mengakses dan/atau mengunduh data dari catatan, dokumen, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak.

Berdasarkan ayat ini Wajib Pajak yang diperiksa juga memiliki kewajiban memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang merupakan tempat penyimpanan dokumen, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan usaha Wajib Pajak dan melakukan peminjaman dan/atau pemeriksaan di tempat-tempat tersebut.

Dalam hal petugas pemeriksa membutuhkan keterangan lain selain buku, catatan, dan dokumen lain, Wajib Pajak harus memberikan keterangan lain yang dapat berupa keterangan tertulis dan/atau keterangan lisan.

Keterangan tertulis misalnya:

1. surat pernyataan tidak diaudit oleh Kantor Akuntan Publik;
2. keterangan bahwa fotokopi dokumen yang dipinjamkan sesuai dengan aslinya;
3. surat pernyataan tentang kepemilikan harta; atau
4. surat pernyataan tentang perkiraan biaya hidup.

Keterangan lisan misalnya:

1. wawancara tentang proses pembukuan Wajib Pajak;
2. wawancara tentang proses produksi Wajib Pajak; atau
3. wawancara dengan manajemen tentang transaksi-transaksi yang bersifat khusus.

Ayat (3a)
Cukup jelas.

Ayat (3b)
Cukup jelas.

Ayat (4)

Untuk mencegah adanya dalih bahwa Wajib Pajak yang sedang diperiksa terikat pada kerahasiaan sehingga pembukuan, catatan, dokumen serta keterangan-keterangan iain yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak maka ayat ini menegaskan bahwa kewajiban merahasiakan itu ditiadakan.

Angka 37
Pasal 29A

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan fasilitas kepada Wajib Pajak yang mendaftarkan sahamnya di bursa efek, yaitu dalam hal Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan, pemeriksaannya dapat melalui Pemeriksaan Kantor. Dengan Pemeriksaan Kantor, proses pemeriksaan menjadi lebih sederhana dan cepat penyelesaiannya sehingga Wajib Pajak semakin cepat mendapatkan kepastian hukum, dibandingkan melalui Pemeriksaan Lapangan.

Mengingat pemeriksaan dapat dilakukan melalui Pemeriksaan Kantor dan jangka waktu pemeriksaannya cukup singkat, Direktur Jenderal Pajak melalui Wajib Pajak dapat meminta kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik.

Pasal 30

Ayat (1)

Dalam pemeriksaan dapat ditemukan adanya Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b, yakni tidak memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan. Keadaan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya, Wajib Pajak tidak berada di tempat atau sengaja tidak memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.

Wajib Pajak yang pada saat dilakukan pemeriksaan tidak memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak bergerak, serta mengakses data yang dikelola secara elektronik atau tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan dianggap menghalangi pelaksanaan pemeriksaan. Dalam hal demikian, untuk mernperoleh buku, catatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa dipandang perlu memberi kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak yang dilaksanakan oleh pemeriksa untuk melakukan penyegelan terhadap tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak bergerak.

Penyegelan merupakan upaya terakhir pemeriksa untuk mernperoleh atau mengamankan buku, catatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda iain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa agar tidak dipindahkan, dihilangkan, dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar, atau dipalsukan.

Penyegelan data elektronik dilakukan sepanjang tidak menghentikan kelancaran kegiatan operasional perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Angka 39
Pasal 31

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)

Untuk lebih memberikan keseimbangan hak kepada Wajib Pajak dalam menanggapi temuan hasil pemeriksaan, dalam tata cara pemeriksaan tersebut, antara lain, mengatur kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil Pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan. Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam batas waktu yang ditentukan, hasil pemeriksaan ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Angka 40
Pasal 32

Ayat (1)

Dalam Undang-Undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap badan, badan yang dinyatakan pailit, badan dalam pembubaran, badan dalam likuidasi, warisan yang belum dibagi, dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil atau kuasanya karena mereka tidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut.

Ayat (2)

Ayat ini menegaskan bahwa wakil Wajib Pajak yang diatur dalam Undang-Undang ini bertanggung jawab secara pribadi atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang. Pengecualian dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila wakil Wajib Pajak dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam kedudukannya, menurut kewajaran dan kepatutan, tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban.

Ayat (3)

Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.

Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan daiam peraturan perundang-undangan perpajakan.

Yang dimaksud dengan “kuasa” adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.

Ayat (3a)
Cukup jelas.

Ayat (4)

Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, termasuk dalam pengertian pengurus. Ketentuan dalam ayat ini berlaku pula bagi kornisaris dan pernegang saham mayoritas atau pengendali.

Angka 41
Pasal 33
Dihapus.

Angka 42
Pasal 34

Ayat (1)

Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain:

1. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
2. data yang diperoleh dalam rangka petaksanaan pemeriksaan;
3. dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
4. dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan.

Ayat (2)

Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Ayat (2a)

Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan identiias Wajib Pajak meiiputi:

1. nama Wajib Pajak;
2. Nomor Pokok Wajib Pajak;
3. alamat Wajib Pajak;
4. alamat kegiatan usaha;
5. merek usaha; dan/atau
6. kegiatan usaha Wajib Pajak.

Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meiiputi:

1. penerimaan pajak secara nasional;
2. penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak;
3. penerimaan pajak perjenis pajak;
4. penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha;
5. jumlah Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak terdaftar;
6. register permohonan Wajib Pajak;
7. tunggakan pajak secara nasional; dan/atau
8. tunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak.

Ayat (3)

Untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan instansi pemerintah lain, keterangan atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan nama pejabat, ahli, atau tenaga ahli yang diizinkan untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak. Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh Menteri Keuangan.

Ayat (4)

Untuk melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam perkara pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan peradilan, Menteri Keuangan memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) atas permintaan tertulis hakim ketua sidang.

Ayat (5)

Ayat ini merupakan pembatasan dan penegasan bahwa keterangan perpajakan yang diminta hanya mengenai perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas pada tersangka yang bersangkutan.

Angka 43
Pasal 35

Ayat (1)

Untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, atas permintaan tertulis Direktur Jenderal Pajak, pihak ketiga yaitu bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak atau penagihan pajak atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan harus memberikan keterangan atau bukti-bukti yang diminta.

Yang dimaksud dengan “konsultan pajak” adalah setiap orang yang dalam lingkungan pekerjaannya secara bebas memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Ayat (2)

Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Angka 44
Pasal 35A

Ayat (1)

Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai konsekuensi penerapan sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data dan informasi dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar Direktorat Jenderal Pajak.

Dalam rangka pelaksanaan ketentuan ini, sumber, jenis, dan tata cara penyampaian data dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ayat (2)

Apabila data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang diberikan oleh instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain belum mencukupi, untuk kepentingan penerimaan negara, Direktur Jenderal Pajak dapat menghimpun data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan sehubungan dengan terjadinya suatu peristiwa yang diperkirakan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dengan memperhatikan ketentuan tentang kerahasiaan atas data dan informasi dimaksud.

Angka 45
Pasal 36

Ayat (1)

Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak yang tiidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Selain itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.

Demikian juga, atas Surat Tagihain Pajak yang tidak benar dapat dilakukan pengurangan atau pembatalan oleh Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak.

Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak atas kewenangannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mernbatalkan hasil pemeriksaan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan.

Ayat (1a)
Cukup jelas.

Ayat (1b)
Cukup jelas.

Ayat (1c)
Cukup jelas.

Ayat (1d)
Cukup jelas.

Ayat (1e)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup Jelas.

Angka 46
Pasal 36A

Ayat (1)

Dalam rangka mengamankan penerimaan negara dan meningkatkan profesionalisme pegawai pajak dalam melaksanakan ketentuan undang-undang perpajakan, terhadap pegawai pajak yang dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak yang tidak sesuai dengan undang-undang sehingga mengakibatkan kerugian pada pendapatan Negara dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2)

Ayat ini mengatur pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak, misalnya apabila pegawai pajak melakukan pelanggaran di bidang kepegawaian, pegawai pajak dapat diadukan karena telah melanggar peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. Apabila pegawai pajak dianggap melakukan tindak pidana, pegawai pajak dapat diadukan karena telah melakukan tindak pidana. Demikian juga, apabila pegawai pajak melakukan tindak pidana korupsi, pegawai pajak dapat diadukan karena melakukan tindak pidana korupsi.

Dalam keadaan demikian, Wajib Pajak dapat mengadukan pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak tersebut kepada unit internal Departemen Keuangan.

Ayat (3)
Cukup jetas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)

Pegawai pajak dalam melaksanakan tugasnya dianggap berdasarkan iktikad baik apabila pegawai pajak tersebut dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme.

Angka 47
Pasal 36B

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 36C
Cukup jelas.

Pasal 36D

Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)

Pemberian besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang dilakukan oleh Pemerintah dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi masalah keuangan.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Angka 48
Pasal 37A

Ayat (1)
Cukup Jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Angka 49
Pasal 38

Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenai sanksi pidana.

Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi melainkan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan.

Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan seperti yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Kealpaan yang dimaksud dalam pasal ini berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,

Angka 50
Pasal 39

Ayat (1)

Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang berat mengingat pentingnya peranan penerimaan pajak dalam penerimaan negara.

Dalam perbuatan atau tindakan ini termasuk pula setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri, menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Ayat (2)

Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang perpajakan, bagi mereka yang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan, dikenai sanksi pidana lebih berat, yaitu ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana yang diatur pada ayat (1).

Ayat (3)

Penyalahgunaan atau penggunaan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau penyampaian Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi pajak dan/atau kompensasi pajak atau pengkreditan pajak yang tidak benar sangat merugikan negara. Oleh karena itu, percobaan melakukan tindak pidana tersebut merupakan delik tersendiri.

Angka 51
Pasal 39A

Faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi yang sangat penting dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai. Demikian juga bukti pemotongan pajak dan bukti pemungutan pajak merupakan sarana untuk pengkreditan atau pengurangan pajak terutang sehingga setiap penyalahgunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dapat mengakibatkan dampak negatif dalam keberhasilan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan. Oeh karena itu, penyalahgunaan tersebut berupa penerbitan dan/atau penggunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dikenai sanksi pidana.

Angka 52
Pasal 41

Ayat (1)

Untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan tidak ragu-ragu, dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan, perlu adanya sanksi pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut.

Pengungkapan kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk merahasiakan keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang dilindungi oleh Undang-undang Perpajakan dilanggar. Atas kealpaan tersebut, pelaku dihukum dengan hukuman yang setimpa).

Ayat (2)

Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan perbuatan atau tindakan yang dilakukan karena kealpaan agar pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati untuk tidak meiakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak.

Ayat (3)

Tuntutan pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib Pajak.

Angka 53
Pasal 41A

Agar pihak ketiga memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 35 maka perlu adanya sanksi bagi pihak ketiga yang melakukan perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini.

Angka 54
Pasal 41B

Seseorang yang meiakukan perbuatan menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, misalnya menghalangi penyidik melakukan penggeledahan dan/atau menyembunyikan bahan bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dikenai sanksi pidana.

Angka 55
Pasal 41C

Ayat (1)
Cukup Jeias.

Ayat (2)
Cukup jelas,

Ayat (3)
Cukup jetas.

Ayat (4)
Cukup Jelas.

Angka 56
Pasal 43

Ayat (1)

Yang dipidana karena mefakukan perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan tidak terbatas pada Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, kuasa Wajib Pajak, pegawai Wajib Pajak, Akuntan Publik, Konsultan Pajak, atau pihak lain, tetapi juga terhadap mereka yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Angka 57
Pasal 43 A

Ayat (1)

Informasi, data, laporan, dan pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak akan dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan intelijen atau pengamatan yang hasilnya dapat ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau tidak ditindaklanjuti.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Angka 58
Pasal 44

Ayat (1)

Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diangkat sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan oleh pejabat yang berwenang adalah penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.

Ayat (2)

Pada ayat ini diatur wewenang Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan, termasuk melakukan penyitaan. Penyitaan tersebut dapat dilakukan, baik terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak, termasuk rekening bank, piutang, dan surat berharga milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Angka 59
Pasal 44B

Ayat (1)

Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan sepanjang perkara pidana tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal II
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4740
Peraturan Terkait
Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
Undang-Undang – 16 TAHUN 2000, Tanggal 2 Agustus 2000
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
Undang-Undang – 9 TAHUN 1994, Tanggal 9 Nopember 1994
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
Undang-Undang – 6 TAHUN 1983, Tanggal 31 Desember 1983
Status
Perpu – 5 TAHUN 2008
Tanggal 31 Desember 2008
Historis
Undang-Undang – 16 TAHUN 2000
Tanggal 2 Agustus 2000
Undang-Undang – 9 TAHUN 1994
Tanggal 9 Nopember 1994
Undang-Undang – 6 TAHUN 1983
Tanggal 31 Desember 1983
Back to Top – Kembali ke Arsip Peraturan

Ekonomi Internasional I

 

 

 

Ekonomi Internasional I

 

 

Rangkuman Mata Kuliah


MODUL 1
HUBUNGAN EKONOMI INTERNASIONAL
Kegiatan Belajar 1
Fungsi dan Peranan Hubungan Ekonomi Internasional

 

Ilmu Ekonomi Internasional adalah cabang ilmu ekonomi yang mempelajari segala sesuatu mengenai hubungan ekonomi antarnegara, misalnya perdagangan barang dan jasa antarnegara, penanaman modal asing, lalu lintas modal jangka pendek antara negara, neraca pembayaran, masalah utang luar negeri, pengaruh perusahaan multi nasional, badan-badan dunia: IMF, Bank Dunia, GATT, ASEAN dan lain-lain, pengaruh perubahan pasar dunia pada produksi, konsumsi, kesempatan kerja dan pendapatan.

Ilmu Ekonomi Internasional mempunyai dua aspek besar, yaitu perdagangan Internasional yang mempelajari dasar-dasar pemikiran tentang perdagangan internasional, karena itu lebih bersifat teoritik dan dalam jangka panjang. Pembiayaan internasional yang mempelajari penyesuaian moneter sebagai akibat terjadinya perdagangan internasional, karena itu lebih bersifat praktis dan menyangkut jangka pendek. Masing-masing aspek juga mengandung kebijakan, seperti kebijakan proteksi, kebijakan valuta, kebijakan utang luar negeri.

Hubungan ekonomi internasional menyangkut banyak aspek, baik yang berupa hubungan pertukaran barang dan jasa, pertukaran modal, pertukaran teknologi, dan pertukaran informasi dan komunikasi. Oleh karena itu dalam ekonomi yang terbuka seperti Indonesia, pengaruh perubahan hubungan ekonomi internasional sangat besar bagi perekonomian dalam negeri.

Selama ini hubungan ekonomi internasional lebih banyak terjadi antar negara-negara industri atau hubungan ekonomi Utara-utara, sebab negara-negara itu lebih mampu berproduksi secara efisien dan memiliki daya beli yang relatif tinggi. Hubungan ekonomi antar negara-negara yang sedang berkembang atau hubungan ekonomi Selatan-selatan, relatif kecil karena daya beli yang rendah dan kemampuan berproduksi yang rendah pula.

Sejak Repelita I, hubungan ekonomi internasional Indonesia berkembang sangat pesat. Hal itu disebabkan karena selama ini pembangunan Indonesia diletakkan terutama pada pembangunan ekonomi, sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil selalu diarahkan untuk mendukung perkembangan ekonomi. Akibatnya pertukaran perdagangan dengan negara-negara lain juga ikut berkembang dalam rangka melebarkan pasaran produk-produk dalam negeri maupun usaha memperoleh berbagai keperluan untuk pembangunan dari pasar dunia. Adanya dukungan yang sangat besar dari naiknya harga minyak dan kesediaan banyak negara untuk membantu perkembangan ekonomi Indonesia dengan jalan memberikan pinjaman memang sangat diperlukan.

Kegiatan Belajar 2
Merkantilisme

Abad Pertengahan adalah abad yang aman, tertib dan relatif statik. Kehidupan dan kegiatan ekonomi berpusat di sektor pertanian yang dikuasai oleh para bangsawan dalam hubungan yang bersifat feodalistik.

Beberapa faktor utama yang menyebabkan perubahan kegiatan sosial dan ekonomi pada Abad Pertengahan antara lain Renaissance yaitu munculnya keinginan untuk bertindak dengan menggunakan pikiran dan menuntut kehidupan sekuler, usaha membentuk negara nasional yang kuat, penemuan Dunia Baru dan jalan menuju ke Timur, runtuhnya feodalisme dan munculnya kelas kapitalis.

Merkantilisme adalah sebuah sistem kebijakan ekonomi yang dianjurkan dan dipraktekkan oleh para pemikir dan negarawan di Eropa Barat sebagai upaya untuk menegakkan negara nasional yang kuat dan makmur.

Empat ciri gagasan pokok yang dapat diidentifikasikan dari para penganut Merkantilis adalah:

  1. ketakutannya pada barang.
  2. sikap terhadap penjualan barang.
  3. keinginan untuk menumpuk logam mulia.
  4. ketidaksenangan pada riba.


MODUL 2
TEORI KLASIK DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Kegiatan Belajar 1
Teori-teori dalam Perdagangan Internasional

 

Teori Klasik dalam perdagangan internasional dimulai dengan kritik Adam Smith terhadap kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh golongan Merkantilis. Kritik itu sebelumnya sudah dimulai oleh para penulis sebelumnya. Salah satu kritik yang juga digunakan oleh Smith adalah kritik David Hume yang dikenal sebagai price spiece flow mechanism. Kritik Smith yang lain menyangkut peranan pemerintah dalam perdagangan internasional. Menurut Smith campur tangan pemerintah di bidang ekonomi seharusnya tidak perlu dilakukan karena justru akan menyebabkan timbulnya kekacauan pada jalannya roda perekonomian. Jadi di dalam negeri Smith menganjurkan laisses faire, sedangkan untuk ke luar negeri, yaitu di bidang perdagangan internasional, ia menginginkan dilakukannya perdagangan bebas.

Di samping kritiknya yang negatif pada pendapat golongan Merkantilis, Smith sendiri juga mengemukakan gagasannya yang original. Gagasan itu adalah gagasan yang menyangkut penjelasan mengapa negara-negara melakukan perdagangan internasional dan gagasan yang menyangkut usaha vent for surplus produksi ke negara lain karena dilakukannya spesialisasi. Gagasan yang pertama dikenal sebagai gagasan tentang keuntungan mutlak sedang gagasan kedua dikenal sebagai vent for surplus theory.

Gagasan Adam Smith kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh David Ricardo dan John Stuart Mill. Pada dasarnya mereka menyatakan bahwa perdagangan internasional sulit terjadi apabila dasarnya adalah keuntungan mutlak. Mereka mengajukan gagasan, yang sampai sekarang masih tetap dianggap benar yaitu bahwa negara-negara melakukan perdagangan internasional karena masing-masing memiliki keuntungan atau biaya komparatif. Teori Klasik dijabarkan dengan menggunakan banyak asumsi. Tidak semua asumsi yang digunakan adalah realistik. Walaupun demikian usaha penjelasan teori Klasik tentang mengapa negara-negara melakukan perdagangan internasional dan manfaatnya apa telah banyak menyingkap tabir yang memberikan kesempatan untuk pengkajian lebih lanjut.

Kegiatan Belajar 2
Penyempurnaan Teori Klasik

Teori perdagangan Klasik sebagaimana dikemukakan oleh Smith, Ricardo, dan Mill telah banyak dikembangkan dan disempurnakan oleh penulis Klasik dan Neo Klasik, walaupun esensinya banyak berubah.

Penyempurnaan yang paling banyak berasal dari Graham. Menurut beliau kesimpulan Mill bahwa DTI harus terletak di antara DTD masing-masing negara agar produk-produk itu dapat diperdagangkan ternyata tidak benar. Yang sering terjadi adalah DTI terletak pada salah satu DTD negara yang melakukan perdagangan, sehingga keuntungan atau manfaat perdagangan akan jatuh sepenuhnya pada satu negara saja. Dalam hal ini dapat negara yang kecil jika perdagangan dilakukan antara negara besar dan negara kecil atau negara yang mengekspor produk yang relatif penting dalam budget konsumen apabila perdagangan menyangkut produk-produk yang relatif penting dan yang relatif tidak penting dalam budget konsumen. Graham menyatakan bahwa dalam hal perdagangan dilakukan antara banyak negara dan banyak barang yang letak keuntungan komparatif dapat berubah-ubah. Apalagi jika dalam kasus itu dimasukkan juga kemungkinan terjadinya perubahan upah dan perubahan kurs valuta. Karena itu dalam perdagangan seperti itu analisis keuntungan komparatif sulit dilaksanakan.

Usaha penyempurnaan lain datang dari Harbeler yang mencoba mengganti dasar analisis dari biaya riil ke biaya alternatif. Dengan cara ini tidak saja analisis menjadi lebih realitas, tetapi juga lebih mudah untuk dikembangkan lebih lanjut, misalnya dengan memperkenalkan kondisi industri dengan biaya yang meningkat, kondisi permintaan, keseimbangan pasar, dan sebagainya. Walaupun demikian usaha, penyempurnaan Harbeler masih juga mengandung banyak kelemahan.


MODUL 3
TEORI MODERN DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Kegiatan Belajar 1
Teori Modern dalam Perdagangan Internasional

 

Teori modern dalam perdagangan internasional muncul sebagai reaksi terhadap teori Klasik yang mengalami pukulan hebat dari Depresiasi Besar tahun 30-an. Teori modern yang dikemukakan oleh Bertil Ohlin pada tahun 1933 dan kemudian dikembangkan oleh Eli-Heckscher kemudian dikenal sebagai teori H-O, bahkan kemudian karena penyempurnaan Samuelson sering disebut juga sebagai teori H.O.S.

Teori H-O mencoba melakukan modifikasi pada teori Klasik untuk mengkaji lebih jauh faktor-faktor yang menentukan adanya keunggulan komparatif. Modifikasi yang dilakukan oleh teori H-O menyangkut antara lain, (a) pengaruh biaya transpor yang dalam teori Klasik dianggap tidak ada, (b) tiga faktor produksi Neo-Klasik tanah, modal dan tenaga kerja sebagai ganti tenaga kerja saja karena itu mengubah konsep keunggulan alami dan keunggulan yang diperkembangkan, (c) pemberian arti biaya sebagai harga faktor-faktor produksi dalam uang sebagai ganti teori nilai atas dasar tenaga kerja, (d) penekanan pentingnya pengertian bahwa produk yang saling bergantung dan pasar serta harga faktor produksilah yang mendorong perdagangan, sehingga memberi jangkauan analisa yang jauh lebih luas dari teori Klasik yang lebih mendasarkan pada perdagangan barter, (e) pernyataan bahwa perdagangan akan mempengaruhi harga-harga yang harus dibayar untuk berbagai faktor produksi yang digunakan dalam menghasilkan barang-barang yang diekspor. Jadi, asumsi bahwa distribusi pendapatan konstan tidak lagi digunakan.

Pokok teori H-O adalah (a) dasar perdagangan internasional yang melandasi keunggulan komparatif adalah bahwa masing-masing negara mempunyai hadiah alam yang berbeda, sehingga faktor-faktor produksi itu akan mempunyai distribusi yang tidak merata secara proporsional, (b) perbedaan dalam jumlah faktor-faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara akan mendorong penggunaan faktor produksi dalam kombinasi yang mempunyai intensitas yang berlainan.

Akibatnya masing-masing negara akan berusaha menekankan produksinya pada barang-barang yang pembuatannya dilakukan sesuai dengan keadaan alam yang dimilikinya. Negara akan mengekspor produk yang padat karya jika alam menghadiahkan faktor produksi tenaga kerja relatif banyak dan akan mengekspor produksi yang padat modal jikalau alam menghadiahkan faktor produksi modal banyak.

Alokasi faktor produksi dan kemampuan penyerapan faktor produksi ditentukan oleh bentuk fungsi produksinya, tegar atau tidak. Jika fungsi produksinya adalah fungsi produksi Leontief maka kemungkinan terjadinya penyerapan faktor produksi yang tidak penuh sangat besar, tetapi bila fungsi produksinya tidak tegar jadi, proporsi faktor produksi mudah diubah sesuai susunan dengan keperluan maka kesempatan kerja penuh selalu dapat terjadi bagi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi.

Kegiatan Belajar 2
Keseimbangan Internasional

Kurva kesediaan adalah sebuah kurva yang digunakan untuk menjelaskan interaksi antara penawaran dan permintaan produksi antara dua atau lebih negara yang melakukan perdagangan internasional. Dari kurva kesediaan ini dapat diperoleh besarnya TOT yang terjadi pada saat keseimbangan tercapai kurva kesediaan dapat diturunkan melalui peta tak acuh perdagangan.

Kurva kesediaan hanyalah menggambarkan satu sisi saja dalam perdagangan internasional, yaitu sisi permintaan. Dengan menambah sisi yang lain, yaitu sisi penawaran yang dilukiskan dalam bentuk kurva kemungkinan produksi, dapatlah diperoleh keseimbangan pasar. Dalam hal ini keseimbangan di pasar internasional, jadi keseimbangan suatu ekonomi yang terbuka.

Dua sisi kekuatan yang menentukan keseimbangan internasional itu dapat menimbulkan berbagai kasus tergantung dari keadaan mereka masing-masing. Setiap kasus mempunyai akibat sendiri-sendiri. Walaupun demikian hanya pada kasus kekuatan permintaan dan kekuatan penawaran yang bertentangan saja dapat timbul akibat yang tidak sejalan dengan teori H – O, yaitu negara-negara akan mengekspor produk-produk yang justru memiliki kerugian komparatif karena pengaruh intensitas permintaan di dalam negeri yang sangat kuat pada produk yang memiliki keunggulan komparatif.


MODUL 4
HARGA FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI
Kegiatan Belajar 1
Penyamaan Harga Faktor-faktor Produksi (Factor Price Equalization)

 

Perdagangan internasional cenderung untuk mendorong terjadinya kesamaan harga barang-barang maupun harga faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang tersebut. Hal itu terjadi karena perdagangan internasional menyebabkan masing-masing negara yang terlibat akan berusaha melakukan spesialisasi pada produk-produk yang mempunyai keuntungan komparatif. Apabila produk-produk yang mempunyai keunggulan komparatif itu sesuai dengan hadiah alam yang dimiliki negara tersebut maka usaha melakukan spesialisasi akan menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi yang dimilikinya relatif paling banyak. Akibatnya harga faktor produksi itu akan meningkat, sedang faktor produksi yang lain tergeser dan harganya akan turun. Hal yang sebaliknya akan terjadi pada negara yang menjadi partner dagang, sehingga perbedaan harga faktor-faktor produksi yang semula ada karena perbedaan hadiah alam akan cenderung semakin kecil dan apabila asumsi-asumsi tertentu dipenuhi penyamaan-penyamaan harga faktor-faktor produksi itu akan menjadi sempurna.

Asumsi dua barang yang dihasilkan dan diperdagangkan, dua faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi dan dua negara menyebabkan bahwa salah satu barang pasti merupakan barang yang (relatif) padat harga sedang yang lain barang yang (relatif) padat modal, demikian pula salah satu negara pasti mempunyai tenaga kerja relatif banyak dan negara yang lain mempunyai modal relatif banyak. Oleh sebab itu, jika diaplikasikan pada dunia nyata dengan banyak barang dan banyak negara hasil yang diperoleh tentu tidak akan mudah digambarkan, walaupun apabila asumsi-asumsi lain tetap berlaku hasilnya juga cenderung untuk tidak berbeda, tentu saja lebih rumit dan lebih sukar untuk diketahui mana barang yang relatif padat karya dan mana barang yang relatif padat modal.

Kegiatan Belajar 2
Pembalikan Intensitas Faktor Produksi (Factor Intensity Reversal) dan Pengaruh Biaya Transportasi

Beberapa ahli ekonomi mencoba menguji teori H-O dengan data alam realitas. Ternyata hasilnya tidak jelas. Ada penemuan-penemuan yang mendukung kebenaran teori H-O, yaitu negara yang memiliki relatif banyak tenaga kerja mengekspor produk yang padat karya dan sebaliknya negara yang memiliki relatif banyak modal mengekspor produk yang padat modal. Sebaliknya ada penemuan-penemuan yang tidak mendukung kebenaran teori H-O.

Salah satu dari penemuan yang tidak cocok dengan teori H-O adalah yang dikenal sebagai paradoks Leontief. Leontief menemukan bahwa Amerika yang diperkirakan negara yang kaya modal ternyata mengekspor produk yang justru padat karya. Hal ini menurut pendapat Leontief disebabkan oleh karena sebenarnya perkiraan bahwa Amerika relatif kaya modal adalah tidak benar. Yang benar adalah Amerika itu kaya tenaga kerja apabila dalam pengertian tenaga kerja itu diperhitungkan juga produktivitasnya.

Apabila rasio K/L yang optimal tidak dipengaruhi oleh besarnya W/i (W = upah, i = suku bunga) dalam arti (K/L) di industri I selalu lebih kecil daripada (K/L) di industri II maka arah perdagangan internasional adalah jelas sesuai dengan teori H-O, sehingga negara yang memiliki relatif banyak tenaga kerja tidak akan mengimpor barang yang padat karya (demand reversal), seperti Indonesia dahulu yang mengimpor beras karena intensitas permintaan beras yang sangat kuat di Indonesia.

Jika pembalikan intensitas faktor produksi (factor intensity reversal) terjadi, artinya ada negara yang memiliki faktor produksi tertentu yang relatif banyak, tenaga kerja misalnya, tetapi hanya relatif faktor produksi itu, dalam hal ini W/i (W = upah, harga tenaga kerja dan i = suku bunga, harga modal) ternyata relatif tinggi maka sulit sekali menghubungkan kedudukan keunggulan komparatif negara itu dengan kondisi teknik produksi yang digunakan. Jadi, ekspor kedua negara yang melakukan perdagangan dapat berupa barang yang mempunyai intensitas faktor produksi yang sama (sama-sama padat karya atau padat modal) tetapi dapat juga berlainan, bergantung pada jumlah pembalikannya genap atau ganjil.

Bila pembalikan intensitas faktor produksi terjadi, penyamaan harga faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang yang diperdagangkan dapat terjadi dan dapat pula tidak. Keadaan mana yang akan terjadi bergantung pada arah gerakan penyamaan itu yang ditentukan oleh jumlah dan besarnya intensitas pembalikan itu. Bila arah gerakan menuju ke jurusan yang sama perbedaan harga faktor produksi yang sama antara kedua negara itu dapat menjadi semakin kecil atau justru semakin besar. Jika arah gerakan menuju ke jurusan yang berlawanan perbedaan harga tersebut dapat bersifat konvergen (menjadi semakin kecil tetapi dapat juga bersifat divergen (menjadi semakin besar).

Pengabaian biaya transportasi dalam teori Klasik maupun dalam seni H-O sebenarnya kurang tepat tetapi sebenarnya pengaruhnya bagi hasil analisisnya sendiri tidak terlalu besar.


MODUL 5
PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Kegiatan Belajar 1
Pertumbuhan Ekonomi dan Akibatnya

 

Dalam perjalanan waktu, walaupun sumber daya ekonomi tidak dapat bergerak melintasi batas negara, perubahan dalam jumlah kualitas dan kemajuan teknologi pasti selalu akan terjadi. Tenaga kerja semakin bertambah banyak, keterampilan meningkat, lahan pertanian bertambah, teknik produksi yang semakin maju dan sebagainya selalu akan terjadi. Akibatnya biaya-biaya produksi berbagai barang yang dihasilkan dan diperdagangkan juga akan mengalami perubahan, baik secara absolut maupun secara relatif. Karena kemajuan teknologi mampu meningkatkan efisiensi perusahaan-perusahaan yang ada, harga barang-barang tersebut akan turun, tetapi turunnya harga dapat saja terjadi tidak dalam proporsi yang sama besar.

Bergantung pada bentuk pertumbuhan faktor-faktor produksi yang dimiliki suatu negara dan akibatnya terhadap perdagangan internasional, maka Hick mencoba mengklasifikasikan kasus pertumbuhan yang netral, yang bias ke ekspor dan yang bias ke impor. Dalam hal tertentu dapat dijumpai kasus yang unik, yaitu kasus pertumbuhan yang justru membuat negara tersebut menjadi lebih miskin. Hal ini dapat terjadi jikalau pertumbuhan ekonomi negara itu menyebabkan meningkatnya permintaan barang impornya dan adanya kelebihan barang ekspor sedemikian sehingga TOT akan turun secara drastis. Harga barang impor meningkat pesat dan harga barang ekspornya turun drastis, sehingga TOT-nya turun drastis. Akibatnya pertumbuhan ekonomi yang menghasilkan kenaikan output, jadi kenaikan pendapatan nasionalnya, justru akan terkena pukulan berat dari turunnya TOT secara drastis dan akhirnya pendapatan nasionalnya justru akan turun.

Bagi sebuah negara kecil yang dalam perdagangan internasional hanya dapat bertindak sebagai price taker, pertumbuhan ekonominya dapat bermacam-macam:

     

  1. Jikalau biaya yang dihadapi oleh industrinya adalah konstan per unit produk maka pertumbuhan ekonomi yang terjadi dapat netral, bias-pro-trade, bias-anti-trade, bias-ultra-protrade atau bias-ultra-antitrade, tergantung pada apa yang terjadi pada proporsi sumbangan perdagangan internasional kepada produk domestik bruto negara itu. Jadi, akibat pertumbuhan ekonomi pada perdagangan internasional negara itu semata-mata tergantung pada kondisi selera penduduk. Jikalau meningkatnya pendapatan riil meningkatkan pula permintaan akan barang impor secara proporsional maka pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh netral pada perdagangan internasional negara itu. Demikian pula dengan yang lain.
  2. Jikalau biaya yang dihadapi oleh industrinya meningkat dengan meningkatnya output sehingga per unit output meningkat maka pertumbuhan ekonomi yang terjadi juga sama macamnya dengan: (a) Tetapi klasifikasinya menjadi lebih sulit. Apabila pada (a) bentuk pertumbuhan ekonominya hanya dipengaruhi oleh seberapa kuat asumsi yang dilakukan oleh penduduk negara itu di dalam mengimpor produk negara lain karena meningkatnya pendapatan nasional riilnya (elastisitas pendapatan) maka pada (b) pengaruh itu harus dikombinasikan dengan pengaruh perubahan biaya itu pada pola produksinya.

Bagi sebuah negara besar yang dalam perdagangan internasional dapat ikut menentukan besarnya harga relatif (TOT) barang-barang yang diperdagangkan, pertumbuhan ekonominya juga dapat membawa akibat yang bermacam-macam seperti pada negara kecil.

     

  1. Jikalau biaya yang dihadapi oleh industrinya adalah konstan per unit produk berapa pun juga jumlah output yang diproduksi maka akibat pertumbuhan ekonomi negara itu pada TOT akan terjadi sejalan dengan kondisi selera penduduk negara itu (efek konsumsi: intensitas asumsi penduduk terhadap barang impor sebagai akibat naiknya produk domestik bruto).
  2. Jikalau biaya dihadapi adalah biaya yang meningkat, biaya per unit akan ikut naik. Apabila outputnya bertambah banyak maka biaya tersebut akan cenderung turun, sehingga pada umumnya pertumbuhan ekonomi suatu negara besar akan mendorong naiknya volume perdagangan internasionalnya. Karena itu apabila asumsi-asumsi yang digunakan tetap dipakai maka pertumbuhan ekonomi suatu negara besar dapat justru menyebabkan negara itu mengalami penurunan pendapatan riilnya walaupun produk domestik brutonya meningkat.

Kegiatan Belajar 2
Sumber Pertumbuhan Ekonomi dan Akibat Pertumbuhan Ekonomi

Sumber pertumbuhan ekonomi ada dua yaitu: peningkatan sumber daya ekonomi, baik kuantitas maupun kualitas, kemajuan teknologi yang memungkinkan diusahakannya kenaikan produksi tanpa penambahan sumber daya.

Kedua sumber pertumbuhan ekonomi itu perlu dibedakan karena akibat yang dapat timbul dari kedua sumber itu ternyata berlainan, Dengan asumsi:

     

  1. dua macam sumber daya (misalnya tenaga kerja dan modal).
  2. dua macam output X dan Y.
  3. X adalah padat karya dan Y adalah padat modal.
  4. fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi yang homogen berderajat satu (misalnya saja fungsi produksi Cobb-Douglas: Q = AK < 1- )
  5. negara itu adalah negara kecil.

Maka pertumbuhan salah satu sumber daya saja (tenaga kerja atau modal) pasti akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan ekonomi yang bersifat bias-ultra ke produk yang relatif banyak menggunakan sumber daya yang mengalami pertumbuhan itu (misalnya tenaga kerja bertambah maka pertumbuhan ekonomi akan bersifat bias-ultra ke X, artinya jumlah barang X akan bertambah dalam jumlah yang cukup besar dengan mengantarkan sejumlah barang Y yang tidak dapat diproduksikan karena sumber dayanya terserap untuk meningkatkan produksi barang X tersebut).

Kemajuan teknologi terjadi apabila output yang sama dapat dihasilkan dengan sumber daya yang lebih sedikit atau output yang lebih banyak dapat dihasilkan dengan output yang sama seperti semula.

Kemajuan teknologi dapat berupa kemajuan teknologi yang terlebur dan kemajuan teknologi yang terpisah. Kemajuan teknologi dapat dikelompokkan menjadi kemajuan teknologi yang netral, kemajuan teknologi yang menghemat tenaga kerja dan kemajuan teknologi yang menghemat modal.

Pertumbuhan ekonomi menyebabkan naiknya pendapatan riil masyarakat pada gilirannya akan meningkatkan permintaan akan produk-produk yang dihasilkan sendiri maupun yang berasal dari impor. Apabila kenaikan permintaan dan kenaikan output pada industri-industri itu tidak berubah secara proporsional harga relatif barang-barang tersebut akan berubah jadi, TOT juga akan berubah, distribusi pendapatan juga akan berubah karena adanya realokasi penggunaan sumber daya.

Perubahan TOT dapat menguntungkan negara-negara yang sedang berkembang (menurut aliran Inggris) tetapi juga dapat merugikannya (aliran Prebisch).


MODUL 6
PROTEKSI
Kegiatan Belajar 1
Tarif dan Hambatan Perdagangan Non Tarif

 

Dalam rangka melindungi dan mendorong pertumbuhan dan kehidupan industri dalam negeri banyak negara berusaha untuk membantu industri-industri tersebut dengan mengenakan bea masuk bagi produk luar negeri yang memasuki perbatasan negara. Pengenaan bea masuk akan mempertinggi harga barang luar negeri sehingga diharapkan dapat memberikan kesempatan lebih baik bagi produk dalam negeri memperoleh pasar. Perlindungan dengan jalan mengenakan bea masuk disebut pengenaan tarif.

Di samping pengenaan tarif perlindungan dapat juga diberikan dalam bentuk lain, yaitu pembatasan jumlah produk yang boleh masuk atau kuota impor dan pemberian subsidi ekspor maupun subsidi untuk mengurangi impor. Hambatan- hambatan ini disebut sebagai hambatan nontarif yang dewasa ini banyak sekali digunakan karena sering kali sulit dideteksi dan dalam hal tertentu efek ekonominya juga lebih baik. Walaupun demikian semua hambatan terhadap perdagangan internasional secara global akan merugikan karena itu proteksi perlu dihilangkan. Untuk menanggulangi terjadinya hambatan-hambatan terhadap perdagangan internasional yang bersifat merugikan banyak persetujuan telah dilakukan baik secara multilateral, seperti yang dicapai oleh GATT maupun secara bilateral. Khusus bagi negara-negara yang sedang berkembang yang memang masih memerlukan proteksi di sana-sini guna mendukung keberhasilan pembangunan ekonominya diatur dengan ketentuan tersendiri.

Kegiatan Belajar 2
Alasan Penggunaan Proteksi

Alasan pengenaan tarif untuk melindungi industri dalam negeri ada bermacam-macam. Tetapi kalau dikaji lebih jauh alasan-alasan itu pada umumnya tidak menguntungkan bagi negara yang mengenakan tarif dalam jangka panjang maupun bagi perdagangan internasional. Selain itu, tarif juga bukan merupakan alat proteksi yang paling baik.

Alasan pengenaan tarif ada yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi, seperti alasan dasar tukar internasional, alasan industri pada tahap awal, alasan diversifikasi industri, alasan distorsi pasar dan sebagai, walaupun kenyataannya sulit dipertahankan secara rasional apabila dikaji secara mendalam dan ada pula alasan-alasan yang bersifat nonekonomi. Alasan-alasan yang bersifat nonekonomi pada umumnya dikaitkan dengan kebijakan politik luar negeri pemerintah maupun idealisme yang dipertahankan terlalu jauh seperti keinginan untuk berdikari sepenuhnya, keinginan untuk melestarikan adat-istiadat dan kebiasaan sendiri, ketakutan pada pengaruh ideologi negara lain dan sebagai.

Secara umum perdagangan bebas adalah pilihan yang lebih dibandingkan dengan perdagangan yang dihambat oleh tarif. Apabila proteksi memang benar-benar diperlukan perlu dikaji alternatif lain yang pengaruhnya pada ekonomi nasional secara keseluruhan adalah lebih baik.


MODUL 7
PERJANJIAN PERDAGANGAN DAN INTEGRASI EKONOMI
Kegiatan Belajar 1
Perjanjian Peradagangn

 

Perdagangan internasional sudah dilakukan manusia sejak lama. Dalam proses perkembangan, perdagangan internasional kadang-kadang berjalan lancar, tetapi kadang-kadang mengalami pula hambatan-hambatan di sana-sini. Sesudah perang dunia kedua negara-negara yang ikut serta dalam perdagangan internasional bertambah banyak sehingga jumlah komoditi dan jasa yang diperdagangkan juga semakin besar, baik dalam jumlah kualitas nilai maupun jenis. Di lain pihak, kemampuan ekonomi negara-negara yang melakukan perdagangan itu menjadi sangat bervariasi. Akibatnya perdagangan internasional tidak selalu mampu memberikan keuntungan yang wajar dan proporsional bagi negara-negara peserta. Atas dasar itulah agar keadaan itu tidak menyebabkan keributan-keributan yang tidak perlu bagi kelancaran arus perdagangan internasional diperlukan adanya perjanjian perdagangan internasional bagi negara-negara yang berkepentingan.

Perjanjian perdagangan yang dibentuk sejak selesainya perang dunia kedua dan sekarang masih berlaku adalah GATT (General Agreement on Tariff and Trade). GATT sudah mengalami banyak penyempurnaan tetapi karena kedudukannya yang kurang kokoh, ketentuan-ketentuannya sering dilanggar oleh anggota-anggotanya sendiri. Walaupun terhadap pelanggar itu sanksi dapat dikenakan, tetapi sering kali sanksi itu tidak dapat diberlakukan secara efektif. Di samping itu, memang terdapat klausula-klausula yang memungkinkan sesuatu negara terkuat curang dan melanggar prinsip pokok GATT, seperti prinsip nondiskriminasi, apabila negara itu merasa bahwa pelaksanaan ketentuan GATT diperkirakan akan merugikan negara itu.

Bagi negara-negara yang kedudukan ekonominya pada umumnya lemah ketentuan-ketentuan dalam GATT mudah sekali merugikan perdagangan mereka. Untuk membantu negara-negara berkembang di dalam melaksanakan kegiatan ekonomi mereka, khususnya yang berkaitan dengan perdagangan internasional, didirikan sebuah badan internasional yang bernama UNCTAD. Usaha UNCTAD sudah cukup banyak, antara lain penekanan pada negara-negara maju untuk memberikan preferensi tarif (GSP) pada negara-negara berkembang, pembentukan program stabilitas harga dan kerja sama yang lebih baik antara masing-masing negara berkembang sendiri (Selatan-Selatan).

Kegiatan Belajar 2
Integrasi Ekonomi

Sesudah perang dunia kedua usai perdagangan internasional mengalami perkembangan yang pesat, diikuti oleh perkembangan perusahaan-perusahaan multinasional yang tidak lagi mengenal batas negara derajat kebergantungan sesuatu negara pada negara-negara lain menjadi semakin besar. Agar derajat kebergantungan yang semakin besar itu dapat dimanfaatkan lebih baik bagi kepentingan negara-negara itu terbentuklah blok-blok ekonomi yang terdiri dari beberapa negara yang merasa berkepentingan untuk melakukan integrasi ekonomi. Blok-blok ekonomi itu antara lain adalah MEE, ASEAN, CALM dan sebagainya.

Setiap pembentukan blok-blok ekonomi, seperti itu akan menimbulkan manfaat dan mudarat bagi negara-negara anggotanya sebagaimana terlihat dari efek ekonomi yang diperolehnya. Efek ekonomi yang statis terdiri dari efek penciptaan perdagangan dan efek pengalihan perdagangan. Bergantung dari efek mana yang lebih dominan pengaruh blok ekonomi pada negara anggotanya dapat menguntungkan atau merugikan.

MEE adalah salah satu blok ekonomi yang terdiri dari beberapa negara Eropa Barat yang mampu memanfaatkan lokasi dan kebersamaannya untuk menjadi blok ekonomi yang sangat kuat dan kini bahkan mampu mendorong ke arah terbentuknya kesatuan ekonomi yang lebih luas dan mungkin mengarah pada pembentukan negara Eropa.

ASEAN yang dicanangkan pada tahun 1967 juga merupakan satu blok ekonomi yang terdiri dari beberapa negara Asia Tenggara. Walaupun susah dalam tahap awal ASEAN telah mampu berkembang menjadi satu blok ekonomi yang relatif berhasil. Namun, untuk berkembang lebih jauh masih banyak hambatan yang perlu diatasi.


MODUL 8
TATA EKONOMI INTERNASIONAL BARU
Kegiatan Belajar 1
Dasar Tukar Internasional (Terms of Trade)

 

Dasar tukar internasional adalah suatu angka indeks yang menggambarkan posisi suatu negara dalam hubungan dengan negara-negara mitra dagangnya dalam perdagangan internasional. Posisi itu menyangkut pergeseran arah pembagian keuntungan yang ditimbulkan oleh perdagangan itu.

Prebisch dan Singer, khususnya menunjukkan bahwa dalam waktu-waktu yang telah lalu ternyata DTI bergerak ke arah yang merugikan negara-negara yang sedang berkembang sehingga selama bertahun-tahun telah terjadi transfer pendapatan dari negara-negara yang sedang berkembang ke negara-negara industri. Tetapi argumentasi Prebisch – Singer itu banyak menimbulkan keraguan terutama pada ekonomi negara-negara industri, karena dalam perhitungan DTI yang digunakan terdapat banyak kelemahannya.

Pengaruh DTI secara kuantitatif memang tidak mudah karena banyaknya variabel di dalamnya sementara sebagian dari vari

UU Nomor 36 Thn 2008 tentang Pajak Penghasilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2008

TENTANG

PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANGNOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILANDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :

a. bahwa dalam upaya mengamankan penerimaan negara yang
semakin meningkat, mewujudkan sistem perpajakan yang
netral, sederhana, stabil, lebih memberikan keadilan, dan
lebih dapat menciptakan kepastian hukum serta
transparansi perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Penghasilan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4740);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PENGHASILAN.

Pasal 1

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263) yang telah beberapa kali diubah
dengan Undang-Undang:
a. Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3459);
b. Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3567);
c. Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3985);
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 substansi tetap dan Penjelasannya diubah
sehingga rumusan Penjelasan Pasal 1 adalah sebagaimana
tercantum dalam Penjelasan Pasal demi Pasal Angka 1
Undang-Undang ini.
2. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (5) diubah dan
di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni
ayat (1a) sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

(1) Yang menjadi subjek pajak adalah:
a. 1. orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak;
b. badan; dan
c. bentuk usaha tetap.
(1a) Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang
perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek
pajak badan.
(2) Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam
negeri dan subjek pajak luar negeri.
(3) Subjek pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia,
orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi
yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia
dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan
pemerintah yang memenuhi kriteria:
1. pembentukannya berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
4. pembukuannya diperiksa oleh aparat
pengawasan fungsional negara; dan
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak.
(4) Subjek pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia; dan
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima
atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak
dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(5) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang
dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;

i. pertambangan dan penggalian sumber alam;

j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;

k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,
atau kehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai
atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60
(enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis
yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh
penyelenggara transaksi elektronik untuk
menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan
badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut
keadaan yang sebenarnya.
3. Ketentuan Pasal 3 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni
ayat (2) sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

(1) Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. kantor perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat
atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan
orang-orang yang diperbantukan kepada mereka
yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersamasama
mereka dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh penghasilan di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan
memberikan perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
selain memberikan pinjaman kepada pemerintah
yang dananya berasal dari iuran para anggota;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional
sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan
syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak
menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
(2) Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
4. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf h, huruf l,
dan Penjelasan huruf k diubah dan ditambah 3 (tiga) huruf,
yakni huruf q sampai dengan huruf s, ayat (2) diubah, ayat
(3) huruf a, huruf d, huruf f, huruf i, dan huruf k diubah,
huruf j dihapus, dan ditambah 3 (tiga) huruf, yakni huruf l,
huruf m, dan huruf n sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 4

(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama
dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan
pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau
imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan
lain dalam Undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan,
dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena
pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada
perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan
modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada
pemegang saham, sekutu, atau anggota yang
diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi
dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa
hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang
diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi
yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak
ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihakpihak
yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan
sebagian atau seluruh hak penambangan,
tanda turut serta dalam pembiayaan, atau
permodalan dalam perusahaan pertambangan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah
dibebankan sebagai biaya dan pembayaran
tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun,
termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali
sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan
dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari
penghasilan yang belum dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.
(2) Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat
final:
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan
lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara,
dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas
lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di
bursa, dan transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan
pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal
ventura;
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa
tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi,
usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau
bangunan; dan
e. penghasilan tertentu lainnya,
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
(3) Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang
diterima oleh badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima
zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau
orang pribadi yang menjalankan usaha mikro
dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh
badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari
Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang
diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang
dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang
menggunakan norma penghitungan khusus
(deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada
orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau
diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak
dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara,
atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan
modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang
ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik
negara dan badan usaha milik daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada
badan yang memberikan dividen paling rendah
25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal
yang disetor;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan Menteri
Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana
pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g,
dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota
dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi
kolektif;
j. dihapus;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh
perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,
dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. merupakan perusahaan mikro, kecil,
menengah, atau yang menjalankan kegiatan
dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan; dan
2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek
di Indonesia;
l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau
lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang
pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi
yang membidanginya, yang ditanamkan kembali
dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4
(empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih
tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan; dan
n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib
Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
5. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf e, huruf g, dan
huruf h diubah dan ditambah 5 (lima) huruf, yakni huruf i
sampai dengan huruf m, serta ayat (2) diubah sehingga Pasal
6 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan
berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
termasuk:
a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung
berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
1. biaya pembelian bahan;
2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,
gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan
dalam bentuk uang;
3. bunga, sewa, dan royalti;
4. biaya perjalanan;
5. biaya pengolahan limbah;
6. premi asuransi;
7. biaya promosi dan penjualan yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
8. biaya administrasi; dan
9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh
harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran
untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal
11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta
yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan
atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan;
e. kerugian selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan
yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
dengan syarat:
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan
laba rugi komersial;
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang
yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat
Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan perkara penagihannya
kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara;
atau adanya perjanjian tertulis mengenai
penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur yang
bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam
penerbitan umum atau khusus; atau adanya
pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3
tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak
tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
i. sumbangan dalam rangka penanggulangan
bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
j. sumbangan dalam rangka penelitian dan
pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga
yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian,
kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan
mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai
dengan 5 (lima) tahun.
(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri
diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
6. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 7

(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan
paling sedikit sebesar:
a. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus
empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak
orang pribadi;
b. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh
ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang
kawin;
c. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus
empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang
isteri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1); dan
d. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh
ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota
keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam
garis keturunan lurus serta anak angkat, yang
menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3
(tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau
awal bagian tahun pajak.
(3) Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan
dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
7. Ketentuan Pasal 8 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dan
Penjelasan ayat (1) diubah sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 8

(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang
telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal
bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang
berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum
dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian
suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata
diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang
telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21
dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan
usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota
keluarga lainnya.
(2) Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah
apabila:
a. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan
putusan hakim;
b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri
berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan; atau
c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk
menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya
sendiri.
(3) Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak
berdasarkan penggabungan penghasilan neto suamiisteri
dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh
masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan
perbandingan penghasilan neto mereka.
(4) Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan
penghasilan orang tuanya.
8. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf e, dan huruf g serta
Penjelasan huruf f diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 9

(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
tidak boleh dikurangkan:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk
apapun seperti dividen, termasuk dividen yang
dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau
anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan,
kecuali:
1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha
bank dan badan usaha lain yang menyalurkan
kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi,
perusahaan pembiayaan konsumen, dan
perusahaan anjak piutang;
2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk
cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3. cadangan penjaminan untuk Lembaga
Penjamin Simpanan;
4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha
pertambangan;
5. cadangan biaya penanaman kembali untuk
usaha kehutanan; dan
6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan
tempat pembuangan limbah industri untuk
usaha pengolahan limbah industri,
yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea
siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi,
kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi
tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib
Pajak yang bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan
makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan
kepada pemegang saham atau kepada pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan,
dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang
diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah,
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang
menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan,
firma, atau perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan dengan pelaksanaan perundangundangan
di bidang perpajakan.
(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan
untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan
melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.
9. Ketentuan Pasal 11 ayat (7) dan ayat (11) serta Penjelasan
ayat (1) sampai dengan ayat (4) diubah sehingga Pasal 11
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11

(1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian,
pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan
harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik,
hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai,
yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam
bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat
yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
(2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain bangunan,
dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang
menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan
cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku,
dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku
disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara
taat asas.
(3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya
pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam
proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan
selesainya pengerjaan harta tersebut.
(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib
Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai
pada bulan harta tersebut digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai
menghasilkan.
(5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva
berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19, maka dasar penyusutan atas harta adalah
nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva
tersebut.
(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif
penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:

Tarif Penyusutan sebagaimana
dimaksud dalam
Kelompok Harta
Berwujud
Masa
Manfaat
Ayat (1) Ayat (2)
I. Bukan bangunan
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
II. Bangunan
Permanen 20 tahun 5%
Tidak Permanen 10 tahun 10%
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusutan atas harta
berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang
usaha tertentu diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d
atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka
jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan
sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau
penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh
dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya
penarikan harta tersebut.
(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima
jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa
kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal
Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian
tersebut.
(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a
dan huruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah
nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan
sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok harta
berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
10. Ketentuan Pasal 11A ayat (1) dan Penjelasan ayat (5) diubah
serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat,
yakni ayat (1a) sehingga Pasal 11A berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11A

(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta
tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya
perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha,
hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang
dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan dilakukan dalam bagianbagian
yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang
menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan
cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran
tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa
manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat
dilakukan secara taat asas.
(1a) Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya
pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu yang
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
(2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif
amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
Tarif Amortisasi berdasarkan
Kelompok Harta metode
Tak Berwujud
Masa Manfaat
Garis
Lurus
Saldo
Menurun
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya
perluasan modal suatu perusahaan dibebankan pada
tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2).
(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak
dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan
minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan
metode satuan produksi.
(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak
penambangan selain yang dimaksud pada ayat (4), hak
pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber
alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan
menggunakan metode satuan produksi setinggitingginya
20% (dua puluh persen) setahun.
(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2).
(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau
hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(4), dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hakhak
tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah
yang diterima sebagai penggantian merupakan
penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut.
(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a
dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka
jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh
dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang
mengalihkan.
11. Ketentuan Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan ayat (7)
serta Penjelasan ayat (4) diubah sehingga Pasal 14 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 14

(1) Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk
menentukan penghasilan neto, dibuat dan
disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya
dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dengan syarat
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun
pajak yang bersangkutan.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
menghitung penghasilan netonya dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak
untuk menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan
atau pencatatan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata
tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pencatatan atau pembukuan atau tidak
memperlihatkan pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya maka penghasilan netonya dihitung
berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
dan peredaran brutonya dihitung dengan cara lain
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
(6) Dihapus.
(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
12. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan
Penjelasan ayat (4) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 16

(1) Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif
bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun
pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1),
serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf g.
(2) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi
dan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
dihitung dengan menggunakan norma penghitungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan untuk
Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan
Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1).
(3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam
suatu tahun pajak dihitung dengan cara
mengurangkan dari penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan memerhatikan
ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat
(3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 9 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.
(4) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian
tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A
ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan neto yang
diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang
disetahunkan.
13. Ketentuan Pasal 17 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan
Penjelasan ayat (5) sampai dengan ayat (7) diubah serta di
antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 4 (empat) ayat, yakni
ayat (2a) sampai dengan ayat (2d) sehingga Pasal 17
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17

(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena
Pajak bagi:
a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah
sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
5%
(lima persen)
di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) sampai dengan
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah)
15%
(lima belas persen)
di atas …
– 23 –
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) sampai
dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah)
25%
(dua puluh lima
persen)
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah)
30%
(tiga puluh persen)
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk
usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh
delapan persen).
(2) Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2a) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai
berlaku sejak tahun pajak 2010.
(2b) Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk
perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat
puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang
disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan
memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat
memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih
rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
(2c) Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen
yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen) dan bersifat final.
(2d) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2c) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), jumlah Penghasilan Kena
Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah
penuh.
(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian
tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (4), dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian
tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam
puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1
(satu) tahun pajak.
(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), tiap bulan yang penuh
dihitung 30 (tiga puluh) hari.
(7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif
pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak
melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut
pada ayat (1).
14. Ketentuan Pasal 18 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Penjelasan
ayat (1) diubah serta di antara ayat (3a) dan ayat (4)
disisipkan 4 (empat) ayat, yakni ayat (3b) sampai dengan
ayat (3e) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan
keputusan mengenai besarnya perbandingan antara
utang dan modal perusahaan untuk keperluan
penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat
diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri
atas penyertaan modal pada badan usaha di luar
negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di
bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam
negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh
persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam
negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling
rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah
saham yang disetor.
(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk
menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal
untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran
dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa dengan menggunakan metode
perbandingan harga antara pihak yang independen,
metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus,
atau metode lainnya.
(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan
perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama
dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk
menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu
periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta
melakukan renegosiasi setelah periode tertentu
tersebut berakhir.
(3b) Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau
aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang
dibentuk untuk maksud demikian (special purpose
company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang
sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang
Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan
istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan
terdapat ketidakwajaran penetapan harga.
(3c) Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara
(conduit company atau special purpose company) yang
didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang
memberikan perlindungan pajak (tax haven country)
yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan
sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau
bentuk usaha tetap di Indonesia.
(3d) Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang
memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal
pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian
penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran
lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia tersebut.
(3e) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3b), ayat (3c), dan ayat (3d) diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) sampai dengan ayat (3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f,
dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal
langsung atau tidak langsung paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain;
hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada
dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di
antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut
terakhir;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau
dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah
penguasaan yang sama baik langsung maupun
tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah
maupun semenda dalam garis keturunan lurus
dan/atau ke samping satu derajat.
(5) Dihapus.
15. Ketentuan Pasal 19 ayat (2) diubah sehingga Pasal 19
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19

(1) Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan
tentang penilaian kembali aktiva dan faktor
penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara
unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena
perkembangan harga.
(2) Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak
tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan
sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
16. Ketentuan Pasal 21 ayat (1) sampai dengan ayat (5), dan ayat
(8) diubah, serta di antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1
(satu) ayat, yakni ayat (5a) sehingga Pasal 21 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 21

(1) Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama
dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib
dilakukan oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan
uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama
apa pun dalam rangka pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan
dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang
melakukan pekerjaan bebas; dan
e. penyelenggara kegiatan yang melakukan
pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan
suatu kegiatan.
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib
melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a adalah kantor perwakilan negara
asing dan organisasi-organisasi internasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang
dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah
penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya
jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan
dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun,
dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai
tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah
penghasilan bruto setelah dikurangi bagian
penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang
besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
(5) Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf
a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan
Pemerintah.
(5a) Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20%
(dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor
Pokok Wajib Pajak.
(6) Dihapus.
(7) Dihapus.
(8) Ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan
pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
17. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) diubah, serta
ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 22
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22

(1) Menteri Keuangan dapat menetapkan:
a. bendahara pemerintah untuk memungut pajak
sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan
barang;
b. badan-badan tertentu untuk memungut pajak
dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di
bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain;
dan
c. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut
pajak dari pembeli atas penjualan barang yang
tergolong sangat mewah.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat,
dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Besarnya pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100%
(seratus persen) daripada tarif yang diterapkan
terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor
Pokok Wajib Pajak.
18. Ketentuan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) huruf c
diubah, ayat (4) huruf d dan huruf g dihapus dan ditambah
1 (satu) huruf, yakni huruf h, serta di antara ayat (1) dan
ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga
Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23

(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama
dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan,
disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak
badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk
usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib
membayarkan:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto
atas:
1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf g;
2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf f;
3. royalti; dan
4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya
selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1) huruf e;
b. dihapus;
c. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
1. sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta yang telah dikenai Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2); dan
2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21.
(1a) Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau
memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak,
besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100%
(seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk
memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada
bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan
dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh
orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (2c);
d. dihapus;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf i;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh
koperasi kepada anggotanya;
g. dihapus; dan
h. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada
badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi
sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan
yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
19. Ketentuan Pasal 24 ayat (3) dan ayat (6) diubah sehingga
Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24

(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas
penghasilan dari luar negeri yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan
terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undangundang
ini dalam tahun pajak yang sama.
(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang
dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh
melebihi penghitungan pajak yang terutang
berdasarkan Undang-undang ini.
(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh
dikreditkan, sumber penghasilan ditentukan sebagai
berikut:
a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya
serta keuntungan dari pengalihan saham dan
sekuritas lainnya adalah negara tempat badan
yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut
didirikan atau bertempat kedudukan;
b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa
sehubungan dengan penggunaan harta gerak
adalah negara tempat pihak yang membayar atau
dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut
bertempat kedudukan atau berada;
c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan
penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat
harta tersebut terletak;
d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan
jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara
tempat pihak yang membayar atau dibebani
imbalan tersebut bertempat kedudukan atau
berada;
e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara
tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan;
f. penghasilan dari pengalihan sebagian atau
seluruh hak penambangan atau tanda turut serta
dalam pembiayaan atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan adalah negara tempat
lokasi penambangan berada;
g. keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah
negara tempat harta tetap berada; dan
h. keuntungan karena pengalihan harta yang
menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap
adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.
(4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan
prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud
pada ayat tersebut.
(5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang
dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau
dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut
Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah
tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian
itu dilakukan.
(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak
atas penghasilan dari luar negeri diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
20. Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (6), ayat
(7), dan ayat (8) diubah, ayat (9) dihapus, serta di antara
ayat (8) dan ayat (9) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (8a)
sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25

(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan
yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi
dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta
Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24,
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam
bagian tahun pajak.
(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sama
dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir
tahun pajak yang lalu.
(3) Dihapus.
(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat
ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu,
besarnya angsuran pajak dihitung kembali
berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan
berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan
penerbitan surat ketetapan pajak.
(5) Dihapus.
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan
penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun
pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut:
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak
teratur;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas
waktu yang ditentukan;
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan;
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang
mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar
dari angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan
f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan
Wajib Pajak.
(7) Menteri Keuangan menetapkan penghitungan
besarnya angsuran pajak bagi:
a. Wajib Pajak baru;
b. bank, badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan
Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan harus membuat
laporan keuangan berkala; dan
c. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu
dengan tarif paling tinggi 0,75% (nol koma tujuh
puluh lima persen) dari peredaran bruto.
(8) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia
21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri
wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
(8a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2010.
(9) Dihapus.
21. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) diubah dan ditambah 2 (dua)
huruf, yakni huruf g dan huruf h, ayat (2) sampai dengan
ayat (5) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1
(satu) ayat, yakni ayat (1a), serta di antara ayat (2) dan ayat
(3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a) sehingga Pasal 26
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26

(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama
dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan,
disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha
tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha
tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua
puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib
membayarkan:
a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian
utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
g. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya;
dan/atau
h. keuntungan karena pembebasan utang.
(1a) Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara
tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak
luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari
penghasilan tersebut (beneficial owner).
(2) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta
di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat
(2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar
negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan
premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan
asuransi luar negeri dipotong pajak 20% (dua puluh
persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(2a) Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan
saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(3c) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen)
dari perkiraan penghasilan neto.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (2a) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari
suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak
sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan
tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (2a), dan ayat (4) bersifat final,
kecuali:
a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan
huruf c; dan
b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri
yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam
negeri atau bentuk usaha tetap.
22. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 29

Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak
ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran
pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
23. Ketentuan Pasal 31A diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 31A

(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal
di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerahdaerah
tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam
skala nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan
dalam bentuk:
a. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30%
(tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang
dilakukan;
b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak
lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
d. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar
10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut
perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan
lebih rendah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang-bidang usaha
tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu yang
mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional serta
pemberian fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

24. Pasal 31B dihapus.

25. Ketentuan Pasal 31C ayat (2) dihapus sehingga Pasal 31C
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31C

(1) Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi
dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang
dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan
80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk
Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Dihapus.
26. Di antara Pasal 31C dan Pasal 32 disisipkan 2 (dua) pasal,
yakni Pasal 31D dan Pasal 31E sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 31D

Ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha
pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas
bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk
batubara, dan bidang usaha berbasis syariah diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 31E

(1) Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran
bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan
tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b
dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena
Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah).
(2) Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
27. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 32

Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan
dengan pelaksanaan Undang-Undang ini dilakukan sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan.
28. Di antara Pasal 32A dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 32B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32B

Ketentuan mengenai pengenaan pajak atas bunga atau
diskonto Obligasi Negara yang diperdagangkan di negara lain
berdasarkan perjanjian perlakuan timbal balik dengan
negara lain tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
29. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 35

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan
Undang-Undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal II
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
1. Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30
Juni 2001 wajib menghitung pajaknya berdasarkan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan.
2. Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30
Juni 2009 wajib menghitung pajaknya berdasarkan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 133
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan Industri,
SETIO SAPTO NUGROHO

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!